Bisnis.com,BANDUNG—Provinsi Jawa Barat menerapkan Siaga 1 Bencana sejak September 2020. Penerapan tersebut merupakan langkah antisipatif Jabar saat memasuki musim hujan.
Hal itu dikatakan Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam rapat bersama Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan soal antisipasi dampak bencana di musim hujan terhadap kenaikan kasus Covid-19 via konferensi video di Gedung Pakuan, Kota Bandung, akhir pekan ini.
“Sudah sebulan lalu saya (Jabar) Siaga Satu karena ternyata September sudah hadir hujan. Dan kami ada kejadian kebencanaan di Cianjur dan Sukabumi,” kata Ridwan Kamil.
Pihaknya sudah mengirim Surat Edaran (SE) kepada kepala daerah di 27 kabupaten/kota di Jabar. SE tersebut berisi soal antisipasi bencana di musim hujan mengingat 60% bencana alam yang terjadi merupakan bencana hidrologis.
“Di kami kebencanaan ini 60 persen adalah hidrologis. Hidrologisnya terbagi dua untuk yang dari Jabar tengah ke utara bentuknya banjir, dan tengah ke selatan bentuknya longsor. Karena Jabar secara geografis tengah ke utara dan tengah ke selatan lahan-lahan miring,” ucapnya.
Pemda Provinsi Jabar pun menyiapkan cetak biru Jabar sebagai provinsi berbudaya tangguh bencana (resilience culture province). Budaya Tangguh Bencana Jabar ini akan ditanamkan kepada seluruh warga melalui pendidikan sekolah sejak dini hingga pelatihan.
“Ini adalah upaya agar ketangguhan bencana ini menjadi budaya sehingga tidak melulu jadi urusan BPBD. Jadi, ini seperti di Jepang kami ikuti. Dan akan masuk ke kurikulum sekolah-sekolah. Kemudian menghadirkan kerelawanan bencana di tingkat RT/RW,” katanya.
“Di Jawa Barat itu per tahun terjadi 2.000 bencana, jadi kalau dibagi setahun per hari terjadi tiga kali kebencanaan di Jawa Barat,” imbuhnya.
Luhut Binsar Pandjaitan meminta kepala daerah menyiapkan fasilitas bagi warga terdampak bencana. Fasilitas tersebut disesuaikan dengan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19 saat bencana terjadi.
“Saya titip saja kepada Pak Ridwan (Gubernur Jabar) dan gubernur lainnya supaya kalau sampai ada apa-apa atau kebencanaan, tempat pengungsian tolong dipersiapkan tidak seperti biasa karena harus ada jaga jarak. Mungkin pengungsian per family (keluarga) akan lebih bagus. Maka penularan itu relatif akan lebih tekendali,” ucap Luhut.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, saat ini Indonesia sudah memasuki musim hujan. Musim hujan di Indonesia sendiri datang secara bertahap, dan diprediksi berakhir sekitar akhir Maret atau April 2021.
Menurut Dwikorita, pemerintah perlu mengantisipasi peningkatan curah hujan. Sebab, kata ia, bersamaan dengan masuknya musim hujan ini, BMKG Jepang, Amerika Serikat, dan Australia telah mendeteksi terjadinya La Nina di Samudera Pasifik.
La Nina ini merupakan anomali suhu muka air laut, di mana suhu di laut akan lebih dingin sampai bisa minus satu derajat celcius atau lebih.
“La Nina ini akan mengakibatkan aliran masa udara basah yang lebih kuat dari normalnya dari wilayah pasifik masuk ke Indonesia, terutama Indonesia timur, tengah, dan utara. Dampaknya adalah curah hujan bulanan di Indonesia ini akan semakin meningkat, peningkatan ini bervariasi atau tidak seragam dari segi ruang dan waktu,” katanya.
“Misalnya mulai diprediksi akhir Oktober sebagian atau 30 persen masuk musim hujan. Mulai Oktober sekarang ini sudah mulai terjadi peningkatan curah hujan sampai bisa 40 persen bahkan lebih, terutama untuk hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatera mulai Oktober atau November,” tambahnya.
Dwikorita mengatakan, pada Desember, Januari, dan Februari mendatang, curah hujan akan meningkat di wilayah Indonesia bagian tengah, timur, dan utara.
“Jadi, itu sekilas potensi peningkatan hujan akan lebih tinggi dari normalnya dapat mencapai 40 persen yang tentunya akan berdampak pada terjadinya bencana hidrometrologi baik banjir, longsor, angin kencang, atau puting beliung. Itulah sekilas prediksi cuaca selama kurang lebih selama enam bulan ke depan,” ucapnya.