Bisnis.com, CIREBON - Aksi unjuk rasa penolakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) 1.000% yang sempat direncanakan sejumlah warga Kota Cirebon akhirnya gagal digelar.
Warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi memilih untuk menunda langkah turun ke jalan setelah tercapai kesepakatan baru bersama Pemerintah Kota Cirebon terkait peninjauan ulang kebijakan pajak tersebut.
Keputusan itu lahir usai pertemuan panjang dengan Wali Kota Cirebon Effendi Edo, yang secara langsung memberikan penjelasan mengenai arah kebijakan fiskal daerah.
Juru bicara Paguyuban Pelangi, Hetta Mahendrati menuturkan pihaknya sejak awal lebih mengedepankan jalur dialog dibanding mobilisasi massa. Baginya, ketenangan sosial jauh lebih penting dibanding sekadar melampiaskan kekecewaan di jalan raya.
Menurut Hetta, beban PBB yang mulai dirasakan sejak 2023 memang membuat warga resah. Kenaikan yang sebelumnya dikhawatirkan melonjak hingga 1.000% ternyata dikoreksi oleh pemerintah.
"Dalam kesepakatan terakhir, tarif hanya akan naik di kisaran 10 sampai 20 persen. Selain itu, Pemkot Cirebon juga memberikan berbagai stimulus agar warga tidak terhimpit kewajiban pajak," kata Hetta, Senin (25/8/2025).
Baca Juga
Pemkot resmi mengumumkan potongan pembayaran PBB sebesar 50% yang berlaku sampai akhir 2025. Kebijakan ini menyentuh semua lapisan wajib pajak, bahkan mereka yang masih menanggung tunggakan dari 2024.
Bagi warga yang masih keberatan, tersedia jalur keringanan tanpa perlu melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
“Selama ini yang bikin ribet itu syarat administratif. Kalau keberatan, biasanya warga diminta SKTM. Tapi sekarang cukup ajukan langsung tanpa SKTM, itu sudah sangat membantu,” ujar Hetta.
Selain potongan tarif, pemerintah juga merancang skema zonasi wilayah. Artinya, besaran PBB tidak lagi dipukul rata, melainkan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan nilai ekonomis kawasan. Dengan begitu, warga di kawasan pinggiran tidak menanggung beban sama beratnya dengan mereka yang tinggal di pusat kota.
Paguyuban Pelangi menegaskan, sikap damai mereka tidak berarti tunduk pada pemerintah, melainkan pilihan sadar untuk menjaga kondusivitas kota. “Kami ingin menunjukkan suara masyarakat bisa didengar tanpa harus ada benturan di lapangan,” kata Hetta.
Rencana unjuk rasa sebelumnya sempat mengundang perhatian, sebab isu kenaikan PBB yang ekstrem berpotensi menyulut konflik horizontal. Namun setelah dialog berjalan, nada protes berubah menjadi ajakan partisipasi. Warga kini menunggu langkah nyata pemerintah untuk menyesuaikan aturan.
Wali Kota Cirebon Effendi Edo menegaskan pihaknya sudah menugaskan tim khusus untuk mengkaji ulang peraturan daerah terkait PBB. Ia memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak boleh menjadi beban berat masyarakat.
“Kami sedang melakukan kajian menyeluruh supaya setiap kebijakan selaras dengan kondisi warga,” jelas Edo.
Pemkot bersama DPRD juga tengah mempercepat pembahasan revisi peraturan daerah yang sudah masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2025.
Menurut Edo, dasar revisi perda merujuk pada surat edaran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Itu artinya, seluruh kebijakan harus sejalan dengan regulasi pusat.
“Dari surat edaran Kemendagri, tentu kami dan DPRD harus membicarakan lebih dulu bentuk perubahan yang sesuai. Draft awal sudah kami susun,” ujarnya.
Meski demikian, penerapan penuh aturan baru tidak bisa dilakukan tahun ini. Edo mengungkapkan, jika perubahan mendadak diterapkan, dikhawatirkan akan mengganggu anggaran perubahan daerah. Karena itu, penerapan kebijakan baru dijadwalkan efektif mulai 2026.
Edo menambahkan, masukan warga melalui Paguyuban Pelangi menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan pajak. Baginya, keterlibatan masyarakat merupakan kontrol yang sehat bagi pemerintah.
“Saya ingin warga tidak merasa berat dalam membayar pajak. Semua masukan kami dengarkan,” tuturnya.