Bisnis.com, CIREBON - Sebanyak 11 investor terhambat dalam upaya menanamkan modal di Kabupaten Cirebon karena lamanya penerbitan izin lingkungan. Sejumlah perusahaan yang hendak membuka industri skala besar mengaku tersendat di meja perizinan lingkungan.
Dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UPL), yang menjadi syarat utama sebelum izin industri diterbitkan, dinilai kerap memakan waktu lama dan tidak mudah diselesaikan.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Hilmi Rivai tidak menampik hambatan terbesar memang terjadi di ranah dokumen lingkungan.
Menurutnya, masalah bukan pada niat investor, melainkan pada pemenuhan standar teknis yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“UPL ini sering kali dianggap sederhana, padahal justru menjadi penentu. Banyak pengajuan izin usaha tidak bisa diproses karena dokumen lingkungan yang diajukan tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kondisi lapangan,” ujar Hilmi, Rabu (21/8).
Sebelas perusahaan yang kini menunggu izin bukanlah pemain kecil. Dari data yang dihimpun, nilai investasi yang mengantre di Cirebon mencapai lebih dari Rp1,7 triliun, dengan rencana serapan tenaga kerja lebih dari 10.000 orang.
Baca Juga
Nama-nama besar seperti PT Chengda Tech Indonesia dengan nilai investasi Rp599 miliar dan rencana menyerap 2.869 tenaga kerja, hingga PT Dahju Foam Product dari Taiwan dengan investasi Rp216 miliar dan 930 pekerja, adalah contoh nyata betapa besar potensi yang terhambat.
Masalah tersebut, menurut Hilmi, muncul dari kualitas dokumen yang diajukan investor. Banyak di antaranya menyerahkan penyusunan dokumen UPL kepada konsultan. Ironisnya, tidak sedikit konsultan hanya menyajikan laporan salin tempel dari template umum tanpa menyesuaikan kondisi lapangan.
Hasilnya, dokumen berisi data asal-asalan, peta lokasi yang tidak sesuai, hingga rencana pengelolaan limbah yang tidak jelas. Ketika diverifikasi, hampir semua harus direvisi.
“Kalau hanya copy-paste dari template, pasti ditolak. Harus ada data aktual, peta lokasi yang sesuai, hingga rencana teknis pengelolaan limbah cair maupun padat. Selama itu belum dipenuhi, jangan harap izin bisa keluar,” kata Hilmi.
Proses revisi bolak-balik inilah yang membuat investor mengeluh. Bagi pengusaha, waktu adalah uang. Setiap keterlambatan berarti biaya operasional makin membengkak, sementara rencana produksi tertunda.
Di balik keluhan itu, ada fakta lain yang sulit dihindari, yaitu birokrasi perizinan lingkungan memang lebih panjang dibanding izin lainnya. KLH membutuhkan waktu ekstra untuk mengkaji setiap detail. Mulai dari penggunaan air tanah, sistem pembuangan limbah, hingga dampak terhadap masyarakat sekitar.
“Kami di DPMPTSP hanya memfasilitasi. Keputusan tetap ada di KLH. Jadi kalau mereka menilai belum layak, kami tidak bisa menerbitkan izin. Prinsipnya, jangan sampai industri berdiri dulu, baru masalah muncul belakangan,” ujar Hilmi.
Namun di lapangan, alur panjang ini kerap dianggap menghambat. Investor menuding pemerintah daerah lamban dan birokratis. Sebaliknya, pemerintah menegaskan prosedur ketat adalah cara menjaga lingkungan dan menghindari bencana sosial di kemudian hari.
Jika dihitung, potensi ekonomi yang menggantung di meja perizinan bukan main-main. PT Joil Global Indonesia, misalnya, membawa investasi Rp206 miliar dengan rencana menyerap 2.000 pekerja. PT Oleno Garment International menyiapkan Rp25 miliar dengan target 1.500 pekerja.
Belum lagi PT Gold Emperor Dua, perusahaan sepatu asal China dengan investasi Rp188 miliar untuk 1.200 tenaga kerja. Ada juga PT Paicos International Indonesia dengan nilai Rp149 miliar dan target 649 pekerja.
"Dari 11 perusahaan, jika seluruhnya beroperasi, Kabupaten Cirebon bisa menikmati multiplier effect luar biasa, ribuan lapangan kerja baru, peningkatan konsumsi lokal, serta pertumbuhan sektor pendukung seperti logistik, transportasi, dan perumahan. Namun semua itu tertahan hanya karena dokumen lingkungan tak kunjung selesai," kata Hilmi.
Hilmi menyadari keresahan para investor. Karena itu, DPMPTSP kini mendorong dua strategi. Pertama, meminta investor sejak awal menggunakan jasa konsultan lingkungan yang kredibel.
Kedua, membuka ruang konsultasi intensif agar pelaku usaha memahami syarat teknis sebelum dokumen diajukan.
“Kalau pelaku usaha patuh dan menyiapkan dokumen dengan benar, sebenarnya proses tidak lama. Kami juga membuka konsultasi agar mereka paham persyaratan sejak awal,” katanya.
Selain itu, DPMPTSP berkoordinasi dengan KLH untuk memangkas birokrasi yang tidak perlu. Harapannya, dokumen bisa segera dievaluasi tanpa mengorbankan kualitas verifikasi.
Meski investor mendesak percepatan, pemerintah menegaskan satu hal: lingkungan tidak boleh dikorbankan demi investasi. Cirebon memang membutuhkan masuknya modal asing, tetapi pembangunan yang merusak hanya akan meninggalkan masalah baru.
“Kami tidak ingin investor lari hanya karena persoalan teknis. Tapi aturan tetap harus ditegakkan. Prinsipnya sederhana: investasi boleh masuk, tapi lingkungan tetap harus dijaga,” pungkas Hilmi.