Bisnis.com, BANDUNG— Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) menilai adanya perbedaan strategi perdagangan antara Indonesia dan Vietnam, khususnya dalam hubungan dengan Jepang.
Perbedaan tersebut dinilai sangat mencolok sehingga menjadikan sistem industri dan perdagangan internasional Vietnam melesat.
Ketua GPEI Khairul Mahalli mengatakan pihaknya sudah melakukan analisa terkait perbedaan strategi dagang internasional dari dua negara yang kini bersaing di ASEAN ini.
Pertama, ia menjelaskan antara Indonesia dan Vietnam memiliki perbedaan pendekatan perdagangan yang signifikan.
Ia menjelaskan, Indonesia cenderung mengekspor produk-produk mentah atau setengah jadi seperti bahan baku, komoditas, dan produk manufaktur sederhana dengan model perdagangan retail atau transaksi berbasis volume.
Beberapa di antaranya seperti batu bara, nikel, karet, minyak sawit dan produk tekstil.
Baca Juga
“Kurangnya pengembangan merek dan inovasi produk untuk pasar Jepang,” ungkapnya, kepada Bisnis.
Sementara itu, Vietnam terlihat lebih fokus pada pendekatan berbasis nilai tambah dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan spesifik pasar Jepang, seperti elektronik, suku cadang otomotif, produk pertanian berkualitas tinggi.
Selain itu, Vietnam juga dinilai cepat mengadopsi model kemitraan industri seperti pendirian pabrik Samsung di Vietnam memasok komponen ke Jepang.
Berkat hal itu, Khairul menjelaskan, Vietnam pun kini melejit sebagai negara yang mampu mengambil peran dalam perdagangan dunia.
Kesuksesan itu bisa diraih Vietnam lantaran Vietnam mampu menyerap investasi langsung Jepang.
“Jepang telah banyak berinvestasi di sektor manufaktur Vietnam [elektronik, otomotif, IoT], sehingga produk Vietnam lebih terintegrasi dengan rantai pasok Jepang, seperti perusahaan Toyota, Panasonic dan Sony memiliki pabrik atau mitra di Vietnam.
Hal itu, tak lepas dari peran pemerintah Vietnam yang aktif mendorong industri bernilai tinggi melalui kebijakan yang baik, seperti insentif pajak, kawasan ekonomi khusus dan pelatihan tenaga kerja terampil.
Selain itu, Vietnam dinilai lebih cepat memenuhi standar kualitas dan keamanan Jepang, seperti produk pertanian Vietnam, yakni kopi, udang, dan buah-buahan telah memenuhi sertifikasi JAS/JIS.
Vietnam juga memiliki ekosistem yang mendukung dengan Vietnam mengembangkan klaster industri seperti zona industri Hi-Tech di Hanoi dan Ho Chi Minh yang memudahkan kolaborasi dengan perusahaan Jepang.
Sehingga ia melihat adanya titik kelemahan Indonesia dalam Persaingan dengan Vietnam, beberapa di antaranya lantaran Indonesia masih bergantung pada ekspor bahan mentah, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga global.
“Produk Indonesia seringkali dipasarkan sebagai komoditas murah daripada produk bernilai tinggi,” jelasnya.
Kemudian dari segi infrastruktur dan birokrasi, proses ekspor di Indonesia masih rumit lantarwn birokrasi panjang dan logistik mahal. Sementara itu Vietnam lebih efisien.
Ia juga menjelaskan, menuangkan sejumlah solusi agar negara ini bisa bersaing dengan Vietnam dari segi strategi dagang internasional, yakni dengan meningkatkan kolaborasi industri dengan Jepang. Misalny, mengundang lebih banyak investasi Jepang di sektor manufaktur teknologi tinggi.
Kemudian, fokus pengembangan produk nilai tambah, contohnya mengolah nikel menjadi baterai EV seperti proyek Tesla di Indonesia, alih-alih hanya mengekspor bijih nikel.
“Indonesia juga harus melakukan peningkatan standar dan sertifikasi agar produk Indonesia harus memenuhi persyaratan ketat Jepang seperti sertifikasi halal, organik, atau JIS.
Sehingga secara keseluruhan, ia menilai Vietnam bisa lebih unggul dari Indonesia karena strategi industrinya yang terencana, sementara Indonesia masih terjebak dalam pola perdagangan tradisional.
“Jika Indonesia ingin bersaing, perlu beralih dari retail-based trading ke value-chain integration dengan Jepang,” tandasnya.