Bisnis.com, BANDUNG— Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) menilai tarif Trump untuk produk Indonesia yang berpotensi mencapai 47% sebenarnya bisa disiasati jika saja ekosistem bisnis di domestik bisa dilindungi dari produk impor.
Hal itu dikatakan Ketua Umum GPEI Khairul Mahalli kepada Bisnis, Senin (21/4/2025). Dia menilai, potensi market domestik sudah tidak perlu diragukan lagi besarnya. Hal itu dibuktikan dengan produk-produk jadi yang diimpor ke Indonesia bisa cepat terserap pasar.
“Kita jumlah masyarakat sangat besar, makanya banyak produk diimpor ke sini,” ungkap Khairul.
Walaupun, diakui Khairul keuntungan penjualan domestik tidak sebesar jika diekspor ke negara-negara lain.
“Tipis untungnya, tapi ini bisa jadi cara agar industri tidak mati berdiri dengan mengandalkan ekspor,” ungkapnya.
Sedangkan, jika barang-barang itu diekspor, sudah pasti mendapatkan keuntungan tebal dengan mengandalkan selisih kurs rupiah.
Baca Juga
Selain itu, ia juga mengatakan perlu adanya pendataan dari kementerian perdagangan dan bea cukai soal data potensi ekspor ke negara-negara non tradisional.
Sehingga, aktivitas ekspor di Tanah Air bisa diarahkan ke negara-negara tersebut. Artinya, jika masuk dalam pusaran tarif Ekspor Trump.
“Karena kan yang namanya butuh, pasti ada skema yang bisa diterapkan, salah satunya ‘numpang’ pengiriman dari negara-negara seperti Thailand, Vietnam itu tarifnya kan kemungkinan lebih rendah,” ungkapnya.
Potensi Baru
Khairul mengatakan selain produk tekstil dan garmen yang berpotensi untuk diekspor, ada juga produk rempah yang dibutuhkan negara-negara Eropa.
“Ini kalau dioptimalkan bisa jadi potensi kita yang besar, VOC kan datang ke Indonesia dulu karena rempah di kita melimpah,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, rempah seperti jahe, cengkeh, kayu manis menjadi beberapa produk rempah yang permintaannya besar dari Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara ASEAN.
“Dari tiga komoditas itu saja permintaannya besar,” ungkapnya.
Belum lagi produk berbahan dasar kelapa, berupa cocopeat, cocofiber, coco chip hingga arang kelapa yang sangat diminati pasar global.
“Jadi jangan sampai dijual kelapa segar itu, karena semuanya berpotensi besar,” ungkapnya.
Salah satu permintaan terbesar dari cocopeat datang dari Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara tersebut membutuhkan ratusan kontainer cocopeat per bulan dari Indonesia.
Kemudian, cocofiber atau serabut kelapa, yang diminati negara-negara Eropa untuk isian jok mobil dan tempat tidur. Sehingga, hal ini seharusnya bisa dioptimalkan untuk membangun industrinya.
“Kalau industrinya terbangun kan ini potensi besar,” jelasnya.
Ia menilai, informasi soal potensi ini harusnya bisa sampai hingga ke akar rumput. Sehingga ceruk ini tidak hanya dikuasai oleh broker saja.
“Mereka kan berdagang ya, tapi harusnya ini semua tahu,” jelasnya.
Meski begitu, ia mengakui saat ini potensi ini sudah mulai digarap. Hanya saja ukuran industrinya belum sebesar industri tekstil dan garmen.