Bisnis.com, Bandung - Era digital kini memegang peranan yang sangat signifikan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan. Internet yang menjadi salah satu bagian dari dunia digital, begitu mendominasi kehidupan baik dari sisi ekonomi, politik, dan sosial.
Agar tak ketinggalan zaman, semua pihak tentunya harus mampu beradaptasi dengan perubahan, termasuk pondok pesantren (pontren). Tak hanya pintar mengaji dan mendalami ilmu agama, santri di pontren juga dituntut melek digital.
Atas dasar pentingnya santri melek digital, Pemprov Jabar menggelar workshop 'Literasi Digital Pengelola Pesantren dan Lembaga Keagamaan Lain di Jawa Barat', di Grand Sunshine Hotel Soreang Kabupaten Bandung, Senin (21/8/2023) hingga Rabu (23/8/2023).
"Kita tahu pondok pesantren adalah institusi yang punya tanggung jawab terhadap kemampuan santrinya untuk kehidupan mendatang. Nah, untuk bisa berkiprah di era yang makin cepat, tentunya ada perubahan mendasar yang harus dilakukan melalui literasi digital," kata Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Provinsi Jawa Barat, Barnas Adjidin.
Menurut Barnas, 20 tahun ke depan diperkirakan semua jenis pekerjaan harus menggunakan digital. Maka, lanjut dia, jangan sampai pondok pesantren jadi lembaga terbelakang dibanding lembaga lain yang sudah mulai dengan cepat menguasai teknologi.
"Oleh karena itu kami mencoba mengajak insan-insan, stake holder yang berhubungan dengan pondok pesantren untuk digugah keterbukaannya. Kita tidak menginginkan ada satu pun dari pondok pesantren tabu terhadap saluran informasi," jelas Barnas.
Barnas mengatakan, saat ini masih ada pondok-pondok pesantren yang menganggap tidak baik keterbukaan informasi di era digital. Mereka, kata Barnas, memandang keterbukaan informasi sebagai hal yang negatif.
"Padahal tidak cukup hanya negatif, karena positifnya juga sangat banyak. Sebagaimana kita ketahui misalnya, untuk perubahan yang cepat tentu kita harus melek informasi," ujar Barnas.
Dia mencontohkan informasi mengenai cuaca. Bagi santri berada di pesisir dan harus melaut, informasi cuaca sangat penting. Santri tidak akan asal berangkat melaut, tanpa melihat kondisi cuaca saat itu.
"Semuanya harus melek, apalagi dengan dunia yang begitu cepat di perkotaan. Kalau tertinggal saja sedikit, besok kita tidak tahu lagi jalur ke sini yang kemarin dibuka, bisa saja ternyata ditutup," ujar Barnas.
Lebih lanjut Barnas mengatakan, ada 120 peserta yang mengikuti kegiatan tersebut. Mereka terdiri atas organ lembaganya yaitu keagamaan dari kemenag kabupaten/kota, pimpinan pondok pesantren, Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan forum lain yang sangat erat dengan pesantren.
"Kita melihat ternyata apa yang dipikirkan oleh orang bahwa pondok pesantren tren itu terbelakang sekarang sudah menunjukkan tren terbalik. Sekarang banyak pondok pesantren yang menjadi tujuan pendidikan bagi orang-orang yang the have juga," ujar Barnas.
Program literasi digital bagi pengelola pesantren dan lembaga keagamaan lain dilakukan dalam beberapa tahap. Tahun ini, kata Barnas, dilakukan di lima wilayah dengan masing-masing 120 peserta.
"Ini wilayah Bandung Raya, besok Ciayumajakuning, dan seterusnya. Nanti setelah ini kita coba tahun depan. Kita akan melakukan kajian dengan perguruan tinggi, setelah ini bagusnya gimana," kata Barnas.
Barnas menambahkan saat ini workshop tersebut masih bersifat umum. Namun ke depan, lanjutnya, akan dilakukan lebih detail lagi. Misalnya penjelasan mengenai informasi digital itu seperti apa.
"Mungkin tidak lagi orang-orang yang ini narasumbernya. Mungkin dari praktisi memberitahu oh cara mengambil gambar ini seperti apa, oh visualisasi gambar harus dilihat dari sudut seperti ini, harus ada logo yang menunjukkan bahwa itu pontren, branding-branding-nya," ujar Barnas.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Jawa Barat Dedi Supandi menyampaikan visi dan misi Provinsi Jawa Barat. Dari lima misi, poin keempat menjadi salah satu alasan digelarnya workshop 'Literasi Digital Pengelola Pesantren dan Lembaga Keagamaan Lain di Jawa Barat'.
"Kita dan semua yang ada di sini, bagaimana mendukung di misi yang keempat yaitu meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi umat yang sejahtera dan adil melalui pemanfaatan teknologi digital dan kolaborasi dengan pusat-pusat inovasi serta pelaku pembangunan," kata Dedi sebelum membuka acara.
Menurut Dedi, misi tersebut harus bisa tercapai karena Jawa Barat punya banyak Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut bisa dilihat dari kondisi demograsi Jawa Barat. Dibandingkan dengan provinsi lain, Jawa Barat memiliki hampir 50 juta penduduk.
"Penduduk Korea Selatan 51 juta jiwa. Berarti penduduk Jawa Barat sama dengan satu negara. Belum lagi dibanding negara lain, Malaysia misalnya. Kita masih di atas Malaysia," papar Dedi.
Dedi lantas membandingkan jumlah penduduk Jawa Barat dengan Jawa Timur. Dari data yang disampaikan, jumlah penduduk Jawa Timur hanya 34 juta jiwa. Namun, lanjutnya, Jawa Timur memiliki 38 kabupaten/kota.
"Jawa Barat memiliki penduduk hampir 50 juta jiwa, tapi jumlah kabupaten/kotanya ada 27. Permasalahannya sekarang, dana alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat, berbanding lurus dengan jumlah kabupaten/kota, bukan dengan jumlah penduduk," jelas Dedi.
Maka, kata Dedi, antara 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan Jawa Barat yang terdiri atas 27 kabupaten/kota, jelas uang dari pemerintah pusat sebagai dana perimbangan keuangan kepada provinsi lebih besar Jawa Timur.
"Kalau dihitung-hitung selama lima tahun perbedaannya hampir di Rp15 triliun. Padahal jumlah penduduk yang harus dilayani, lebih banyak Jawa Barat. Sama juga terkait dengan jumlah pesantren," tandas Dedi.
Berdasarkan data dari Kementerian Agama, kata Dedi, Jawa Barat memiliki 12.086 pesantren. Jumlah tersebut merupakan pesantren yang terdaftar. Ditambah dengan yang belum terdaftar, jumlah pesantren di Jawa Barat bisa lebih dari 12.086.
"Jumlah pesantren di Jawa Barat dengan Jawa Timur lebih banyak mana? Lebih banyak Jawa Barat. Perbedaannya apa, di Jawa Timur pesantrennya sedikit, santrinya banyak. Dibanding Jawa Timur, jumlah santri di Jawa Barat relatif lebih sedikit," terang Dedi.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Dedi, pengetahuan terhadap literasi digital harus dikuasai Jawa Barat. Tanpa pengetahuan digital, lanjutnya, santri-santri di Jawa Barat pasti kalah dibandingkan provinsi lain.
Dedi berharap, dengan kegiatan workshop 'Literasi Digital Pengelola Pesantren dan Lembaga Keagamaan Lain di Jawa Barat', SDM yang dididik di pesantren Jawa Barat akan lebih berkualitas dibanding provinsi lain.
"Tapi kitanya harus kolaborasi, saling ngobrol antar satu pesantren dengan pesantren lainnya," tutup Dedi.