Bisnis.com, CIREBON - Pelaku industri batu alam di Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, terancam menghentikan seluruh kegiatan produksinya.
Hal ini menyusul kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menutup total izin operasi tambang di wilayah Majalengka dan Cirebon, pascalongsor di Gunung Kuda akhir Mei lalu.
Langkah tersebut berdampak langsung pada keberlangsungan usaha para pengrajin dan pemilik industri batu alam. Mayoritas di antaranya kini menghentikan operasional karena kesulitan mendapatkan bahan baku, khususnya batu andesit, yang selama ini dipasok dari kawasan tambang Majalengka dan Gunung Kuda, Cirebon.
“Sebanyak 75 persen dari total 270 unit usaha batu alam di Dukupuntang sudah tidak beroperasi. Kami kehabisan stok bahan baku dan tidak memiliki akses legal untuk mendapatkan pasokan baru,” ujar Tarsiwan, perwakilan dari Paguyuban Pengusaha Batu Alam Cirebon (PPBAC), Rabu (20/6/2026).
Menurut Tarsiwan, kondisi ini berpotensi memperparah angka pengangguran di wilayah Cirebon, karena para pemilik usaha tidak punya pilihan selain merumahkan pekerja mereka.
“Kalau pemerintah memutuskan menutup seluruh aktivitas tambang, maka harusnya juga sudah menyiapkan solusi bagi ribuan karyawan yang kini terancam kehilangan pekerjaan. Ini bukan sekadar urusan bahan baku, tapi juga soal perut banyak orang,” tegasnya.
Baca Juga
Industri batu alam di Dukupuntang selama ini dikenal sebagai salah satu sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sebagian besar pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari pekerjaan pengolahan batu untuk kebutuhan konstruksi dan arsitektur.
“Dampaknya bukan hanya ke pengusaha, tapi juga ke para buruh. Teriakan mereka sudah terdengar setiap hari. Tidak mungkin kami menutup telinga,” kata Tarsiwan.
Para pengusaha kini mendesak agar pemerintah memberikan kejelasan dan alternatif solusi yang adil. Mereka meminta adanya opsi relokasi bahan baku, atau pembukaan kembali sebagian area tambang dengan pengawasan ketat sebagai solusi jangka pendek. Jika tidak, gelombang pemutusan hubungan kerja akan terus membesar.
“Jika pemerintah tidak sanggup memberikan lapangan pekerjaan, seharusnya tidak serta merta mematikan sektor usaha yang selama ini turut membantu mengurangi angka pengangguran. Ini soal tanggung jawab,” ucapnya.
Dalam catatan BPS, jumlah tenaga kerja di sektor industri batu alam di Kabupaten Cirebon menunjukkan tren stagnan selama empat tahun berturut-turut.
Jumlah tenaga kerja di sektor ini tercatat sebanyak 1.982 orang sejak 2021 hingga 2024. Angka tersebut tidak mengalami peningkatan maupun penurunan, mencerminkan kondisi yang tidak berkembang secara signifikan dalam hal serapan tenaga kerja.
Kondisi ini cukup kontras jika dibandingkan dengan tahun 2020, di mana industri batu alam masih mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.072 orang.
Artinya, terdapat penurunan sebesar 90 orang pada tahun 2021 yang kemudian bertahan pada angka yang sama hingga tahun 2024. Penurunan ini bisa menjadi indikasi awal terjadinya perlambatan aktivitas produksi atau efisiensi tenaga kerja di lapangan.
Industri batu alam di Cirebon dikenal sebagai salah satu sektor unggulan, terutama di wilayah Kecamatan Dukupuntang dan sekitarnya, yang selama ini menjadi sentra produksi dan distribusi material alam untuk kebutuhan konstruksi.
Namun stagnasi jumlah pekerja ini patut menjadi perhatian pemerintah daerah, karena bisa mencerminkan minimnya perluasan usaha atau bahkan melemahnya daya saing industri tersebut.