Bisnis.com, CIREBON - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mendesak Pemerintah Kabupaten Cirebon segera melakukan perubahan tata ruang secara menyeluruh.
Desakan itu disampaikan mengingat potensi budaya, sejarah, dan ekonomi Kabupaten Cirebon yang dinilai belum tergarap secara maksimal.
Hal tersebut disampaikan Dedi Mulyadi saat menghadiri rapat paripurna Hari Jadi Ke-543 Kabupaten Cirebon di Ruang Paripurna DPRD Kabupaten Cirebon, Senin (21/4/2025).
Dedi menegaskan Kabupaten Cirebon memiliki identitas khas yang sangat kuat, mulai dari arsitektur bangunan, kuliner, hingga nilai-nilai kebudayaan Islam yang tertanam sejak masa kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa.
Namun, potensi tersebut terancam hilang jika tata ruang tidak segera diatur dengan pendekatan yang selaras dengan nilai historis dan karakter lokal.
“Yang pertama, infrastrukturnya ke depan harus secara bersama-sama dibenahi, dari pusat kota sampai desa. Infrastrukturnya bukan hanya jalan, tapi bangunan-bangunan harus ditata arsitekturnya, dikembalikan ke khas gaya Kacirebonan,” ujar Dedi.
Baca Juga
Menurutnya, wajah Kabupaten Cirebon harus mencerminkan nilai sejarah dan budaya yang khas. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah daerah segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Arsitektur Budaya Khas Cirebon yang secara khusus mengatur tentang bentuk, pola, dan penataan kawasan agar sesuai dengan identitas lokal.
“Bali bisa kokoh karena tertata, karena mereka menjadikan ruh budaya sebagai satu kesatuan. Nah, Cirebon juga bisa. Kita tidak cukup hanya menjual alam. Budaya dan tata ruang harus dijadikan fondasi pembangunan,” tegasnya.
Tak hanya soal arsitektur bangunan, Dedi juga meminta Pemkab Cirebon memperhatikan penataan sektor kuliner dan industri kreatif. Ia menilai makanan khas Cirebon sudah mulai menasional dan digemari masyarakat luar daerah, namun penyajiannya masih belum tertata.
Ia mendorong adanya standarisasi outlet makanan, penataan kawasan kuliner, serta pengembangan desain yang mendukung pariwisata budaya.
“Ke depan, tempat-tempat makanannya harus ditata, outlet-outletnya diperbaiki. Bukan hanya soal rasa, tapi tampilan dan atmosfer tempat makannya juga harus khas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti keberadaan becak tradisional yang dianggap sebagai elemen budaya visual di kawasan kota lama.
Becak-becak itu, kata dia, harus direstorasi dengan cat dan lukisan bergaya khas Kacirebonan. “Kalau orang masuk ke Kacirebon, harus terasa beda. Harus seperti masuk ke kota tua yang hidup, bukan kota yang acak-acakan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Dedi menyampaikan keinginannya agar Kabupaten Cirebon ke depan menjadi kabupaten kebudayaan terbesar di Jawa Barat.
Ia mengusulkan agar Cirebon meniru strategi pembangunan kebudayaan seperti yang diterapkan di Yogyakarta—dengan pendekatan historis, pelestarian keraton, penguatan batik, dan pengembangan sektor pertanian serta kelautan yang berpadu dalam satu narasi kebudayaan.
“Cirebon punya semua: keraton ada, batik punya, kuliner luar biasa, ada petani, ada nelayan. Dialektika budaya Islam di sini sangat kuat. Maka harus dibangun tata ruang yang menjadikan semua elemen itu hidup dan terhubung,” ucapnya.
Namun, Dedi juga tak menutup mata terhadap sejumlah persoalan sosial yang menghambat wajah Cirebon sebagai daerah budaya. Ia menilai kondisi keamanan di jalanan masih lemah, terutama akibat maraknya geng motor, penggunaan knalpot bising, konsumsi minuman keras, serta penyalahgunaan obat-obatan.
Dedi menyebut penanganan itu harus dilakukan dengan pendekatan gabungan antara pemerintah daerah, kepolisian, dan tokoh masyarakat. Pemerintah, lanjut dia, harus berani tampil dengan “tangan besi” untuk menertibkan perilaku menyimpang yang mencederai wajah budaya.
“Pemerintah harus hadir. Jangan kalah oleh geng motor dan pelaku pelanggaran lainnya. Kita tidak cukup hanya membangun wacana. Harus ada tindakan nyata,” katanya.
Ia juga menyinggung pentingnya menjaga situs-situs bersejarah dan kelestarian lingkungan, seperti sungai-sungai yang membelah kawasan Cirebon.
Menurutnya, perubahan tata ruang yang berbasis sejarah dan budaya akan menjadi daya tarik wisata sekaligus fondasi ekonomi berkelanjutan.
Dedi berharap, di periode kedua kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Cirebon, terjadi sinergi yang kuat antara pemerintah daerah dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ia menyebut, dorongan untuk menjadikan Cirebon sebagai kota mentereng secara budaya dan tata ruang harus menjadi prioritas bersama.
“Cirebon lebih senang membangun wacana, sekarang waktunya bangun ruang nyata. Mari bersama-sama antara bupati dan DPRD melakukan perubahan tata ruang Cirebon. Tata ruang itu harus disesuaikan dengan sejarah. Situs harus dilindungi, ekonomi rakyat harus dijaga,” ucapnya.