Bisnis.com, CIREBON - Kondisi pertanian di Jawa Barat kini menghadapi ancaman serius. Lahan pertanian di wilayah ini, khususnya di bagian utara, semakin rentan akibat penurunan kualitas tanah dan perubahan iklim yang signifikan.
Pada 2024, sektor pertanian Jawa Barat mengalami berbagai tantangan, termasuk kekeringan, banjir, serta serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas padi dan hortikultura.
Salah satu penyebab utama kerentanan lahan pertanian di Jawa Barat adalah rendahnya kandungan C-Organik tanah yang kini berada di bawah 2%. Hal ini terutama terjadi pada pertanian di wilayah utara Jawa Barat, yang selama bertahun-tahun bergantung pada penggunaan pupuk nonorganik.
Kondisi ini menyebabkan tanah kehilangan kemampuan untuk menyerap manfaat dari pupuk tambahan, sehingga produktivitas lahan menurun.
"Penggunaan pupuk nonorganik dalam jangka panjang memang mempercepat degradasi tanah. Tanah kehilangan kesuburan alami dan makin sulit mendukung pertumbuhan tanaman," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jabar Muhamad Nur dalam Laporan Perekonomian Provinsi Jawa Barat 2024.
Pada pertengahan 2024, data menunjukkan tren penurunan produktivitas padi dan hortikultura di Jawa Barat. Perubahan musim hujan yang mulai bergeser sejak fenomena El Niño pada 2019 turut memperburuk situasi.
Baca Juga
Pada tahun ini, puncak hujan yang terjadi pada April-Mei 2024 menyebabkan banjir di wilayah utara Jawa Barat, yang melanda beberapa titik sentra produksi saat musim tanam.
Namun, tantangan tidak berhenti di sana. Setelah banjir pada awal tahun, kekeringan melanda Jawa Barat pada Juni-Juli 2024, mengganggu siklus pertanaman di banyak wilayah. Kombinasi anomali cuaca ini menurunkan produktivitas pertanian secara signifikan.
Capaian produksi padi pada tahun 2024 mengalami kontraksi dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun realisasi tanam pada periode Oktober 2023 hingga September 2024 meningkat sebesar 2.985 hektare dibandingkan periode yang sama pada 2023, luas panen, produksi gabah, dan produktivitas padi justru menurun drastis.
Berdasarkan prognosa, luas panen padi pada Januari-November 2024 menurun sebesar 142.656 hektare dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Produksi gabah juga turun sebesar 946.788 ton gabah kering giling (GKG), sementara produksi beras menyusut sebanyak 546.753 ton. Penurunan ini disebabkan oleh kerusakan lahan akibat banjir, kekeringan, dan serangan OPT yang hampir merata di seluruh wilayah Jawa Barat.
Selain itu, pada periode April-Juli 2024, kekeringan melanda 17 kabupaten di Jawa Barat, dengan total lahan terdampak seluas 5.453 hektare. Dari jumlah tersebut, 161 hektare mengalami puso (kerusakan total), terutama di Kabupaten Bekasi (1.399 hektare), Kabupaten Majalengka (783 hektare), dan Kabupaten Indramayu (705 hektare).
Sementara itu, banjir yang terjadi pada bulan yang sama melanda 11 kabupaten, dengan total lahan terdampak mencapai 4.775 hektare. Dari jumlah tersebut, 719 hektare mengalami puso.
Kabupaten Indramayu mencatat dampak banjir terluas, yakni 2.726 hektare, diikuti oleh Kabupaten Karawang (1.520 hektare) dan Kabupaten Cirebon (300 hektare).
"Dampak dari bencana ini sangat besar terhadap produksi pangan. Petani di wilayah terdampak kehilangan modal tanam dan hasil panen, yang tentu berdampak pada perekonomian mereka," ungkap Nur.
Selain bencana alam, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) juga menjadi masalah utama yang dihadapi petani.
Pada periode yang sama, serangan OPT tercatat seluas 19.702 hektare, tersebar di 25 kabupaten/kota di Jawa Barat. Serangan ini paling parah terjadi di Kabupaten Karawang (3.241 hektare), Kabupaten Pangandaran (3.176 hektare), dan Kabupaten Ciamis (2.495 hektare).
Serangan OPT tidak hanya menyebabkan kerugian pada padi, tetapi juga pada tanaman hortikultura seperti cabai dan bawang merah. Petani di wilayah terdampak melaporkan penurunan hasil panen yang signifikan akibat tanaman mereka rusak oleh hama dan penyakit.