Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Di Bawah Bayang Beton: Perjuangan Petani Cirebon dalam Deru Alih Fungsi Lahan

Kab. Cirebon menghadapi ancaman serius, yakni alih fungsi lahan. Perubahan ini tidak hanya menggerus produksi padi, tetapi juga mengubah wajah lanskap daerah.
Sawah di Desa Tegalsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon
Sawah di Desa Tegalsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon

Bisnis.com, CIREBON - Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, merupakan salah satu sentra produksi padi terbesar di Indonesia. Sejarah panjang daerah ini sebagai lumbung pangan nasional terukir dalam setiap aliran irigasi dan tanah subur yang menopang kehidupan masyarakatnya. 

Namun, di balik gelar mentereng tersebut, Kabupaten Cirebon menghadapi ancaman serius, yakni alih fungsi lahan. Perubahan ini tidak hanya menggerus produksi padi, tetapi juga mengubah wajah lanskap daerah dan mengancam kesejahteraan petani setempat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), alih fungsi lahan pertanian rata-rata mencapai 8% per tahun, angka yang cukup signifikan untuk mengurangi produksi pangan di daerah ini.

Salah seorang yang merasakan dampak langsung dari alih fungsi lahan ini adalah Usman Effendi (65), seorang petani padi di Desa Tegalsari, Kecamatan Plered. “Dulu, di sini semuanya sawah, sampai mata memandang. Tapi sekarang, satu per satu sawah berubah jadi perumahan dan pabrik,” ujarnya sambil menunjuk ke arah sebuah proyek pembangunan di dekat lahannya, Kamis (3/10/2024).

Usman masih ingat betul ketika lahan di sekitarnya dipenuhi oleh tanaman padi, jagung, dan palawija. Kini, banyak sawah di desanya telah beralih fungsi menjadi kawasan industri atau permukiman. Tak sedikit tetangganya memilih menjual tanah mereka untuk kebutuhan hidup atau terbujuk oleh harga tanah yang kian tinggi.

Alih fungsi lahan ini bukan hanya merubah wajah desa, tetapi juga mengubah kehidupan masyarakat. Para petani yang dahulu mengandalkan padi sebagai sumber penghidupan utama kini harus mencari alternatif mata pencaharian. Banyak yang beralih menjadi buruh pabrik, sementara sebagian lainnya memilih merantau ke kota-kota besar. 

“Jadi petani sekarang berat, hasil panennya gak sebanding sama biaya hidup. Mau gak mau, banyak yang jual tanah. Dari 2 hektare sekarang separuhnya yang masih bisa ditanami padi. Sisanya, sudah berubah menjadi ruko-ruko dan permukiman," ujar Usman.

Alih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon tak bisa dilepaskan dari perkembangan kawasan Metropolitan Rebana yang mencakup beberapa kabupaten, termasuk Cirebon, Majalengka, dan Subang. 

Kawasan ini ditargetkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat, yang berfokus pada industri, logistik, dan transportasi. Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan Bandara Kertajati menjadi infrastruktur kunci yang mendorong laju urbanisasi dan industrialisasi di kawasan ini.

Namun, pesatnya pembangunan infrastruktur tersebut telah memicu tingginya alih fungsi lahan pertanian. Menyitir data BPS, luas lahan sawah di Kabupaten Cirebon tercatat sekitar 38.213 hektare. Angka ini menurun drastis dibandingkan enam tahun sebelumnya yang masih 47.300 hektare.

Pemerintah Kabupaten Cirebon harus menyusun beberapa kebijakan untuk menekan laju alih fungsi lahan, salah satunya melalui penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi lahan-lahan produktif dari alih fungsi, sekaligus menjaga ketahanan pangan daerah.

Banyak lahan pertanian yang justru berada di luar zona LP2B, sehingga rentan dialihfungsikan. Selain itu, minimnya insentif bagi para petani membuat mereka cenderung memilih menjual lahannya. 

Menyejahterakan petani, Menyelamatkan Lahan

Salah satu solusi yang sering dikemukakan untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan adalah peningkatan kesejahteraan petani. Seperti diungkapkan oleh Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Samsina.

“Kalau petani sejahtera, mereka tidak akan tergoda untuk menjual lahan. Kita perlu memperbaiki ekosistem pertanian agar petani bisa mendapatkan penghasilan yang lebih layak," tuturnya.

Namun kenyataannya, menjadi petani padi di Cirebon bukanlah profesi yang menjanjikan keuntungan besar. Harga jual gabah yang fluktuatif, biaya produksi terus meningkat, serta ketergantungan pada tengkulak membuat banyak petani terjebak dalam siklus kemiskinan. 

Berdasarkan data Dinas Pertanian, rata-rata produksi padi di Cirebon mencapai 5,6 ton per hektare. Namun, harga jual gabah yang diterima petani sering kali rendah, berkisar antara Rp4.200 hingga Rp5.500 per kilogram.

Menyikapi hal ini, pemerintah daerah mencoba menghadirkan program-program yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani, salah satunya melalui bantuan subsidi pupuk dan bibit unggul. Selain itu, inovasi teknologi pertanian juga didorong agar petani bisa meningkatkan produktivitasnya.

Yusuf, seorang petani muda di Desa Panguragan, Kabupaten Cirebon mencoba peruntungan dengan memanfaatkan teknologi pertanian modern. Ia menyemprotkan pestisida dan mengatur irigasi dengan sensor otomatis. 

“Sekarang hasil panen saya bisa lebih maksimal dan biaya produksi jadi lebih efisien. Tapi, memang butuh modal awal yang lumayan besar untuk membeli alat-alat ini,” jelasnya.

Namun, tidak semua petani bisa mengakses teknologi seperti yang dilakukan Yusuf. Mayoritas petani di Cirebon masih menggunakan cara-cara tradisional dalam bertani. Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap teknologi dan pelatihan bagi para petani menjadi salah satu prioritas yang diusulkan oleh berbagai pihak.

Harapan di Tengah Ancaman

Di tengah tantangan alih fungsi lahan, masih ada harapan untuk mempertahankan Kabupaten Cirebon sebagai salah satu lumbung pangan nasional. 

Menurut data dari Kementerian Pertanian, produksi padi di Kabupaten Cirebon pada tahun 2023 mencapai 488.476,01 ton, sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 494.699,98 ton. Meski demikian, Cirebon masih menyumbang sekitar 5 persen dari total produksi beras di Jawa Barat.

Kunci keberhasilan untuk menjaga ketahanan pangan di Kabupaten Cirebon terletak pada sinergi antara pemerintah, petani, dan pelaku usaha. Upaya melindungi lahan pertanian harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan petani agar mereka tidak tergoda untuk menjual lahannya. 

Selain itu, diversifikasi produk pertanian dan pengembangan agribisnis berbasis lokal juga bisa menjadi solusi untuk menciptakan nilai tambah bagi para petani.

Usman sendiri masih berharap bisa terus bertani hingga akhir hayatnya. “Selama masih ada lahan, saya akan terus tanam padi. Ini warisan leluhur yang harus kita jaga,” ujarnya penuh semangat.

Namun, ia sadar masa depan pertanian di Cirebon bergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat menyikapi perubahan yang terjadi. Jika alih fungsi lahan terus dibiarkan tanpa kendali, bukan tidak mungkin suatu hari nanti sawah-sawah di Cirebon akan hilang, digantikan oleh deretan pabrik dan perumahan.

Menyadari ancaman serius terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Cirebon, pemerintah daerah bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk mencari solusi yang dapat menyejahterakan petani tanpa mengorbankan lahan pertanian. 

Salah satu program yang dijalankan adalah program cluster pangan, di mana petani diberikan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pengelolaan lahan.

“Kami berkomitmen mendukung program ketahanan pangan nasional. Melalui program cluster ini, kami memberikan bantuan teknis dan pendampingan kepada petani agar mereka bisa mengadopsi teknologi pertanian yang lebih modern,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Cirebon Anton Pitono.

Menurut Anton, salah satu masalah utama yang dihadapi petani adalah minimnya akses terhadap modal dan teknologi pertanian. 

"Kami memahami bahwa banyak petani yang tergoda untuk menjual lahannya karena desakan kebutuhan ekonomi. Melalui program ini, kami berharap dapat memberikan mereka peluang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan dari bertani, sehingga lahan mereka tidak berubah fungsi," tambahnya.

BI juga memberikan pelatihan kepada petani tentang teknik diversifikasi tanaman, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada padi sebagai satu-satunya sumber penghasilan.

Kabupaten Cirebon berada di persimpangan antara mempertahankan identitasnya sebagai lumbung pangan atau berubah menjadi kawasan industri modern. Tantangan alih fungsi lahan memang tidak mudah untuk diatasi, namun dengan komitmen bersama, masih ada peluang untuk menjaga kelestarian lahan-lahan pertanian.

Petani seperti Usman dan Yusuf adalah garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan di Cirebon. Mereka adalah bukti bahwa meski diterpa berbagai tantangan, semangat untuk terus menanam dan menjaga lahan tetap lestari masih hidup. 

Kini, tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat bersama-sama menciptakan solusi yang bisa menyejahterakan petani tanpa harus mengorbankan lahan pertanian.

Kabupaten Cirebon masih memiliki potensi besar untuk menjadi penyangga pangan nasional, namun potensi tersebut hanya bisa diwujudkan jika lahan-lahan pertanian dijaga dengan baik, dan para petaninya mendapatkan dukungan yang layak. Lahan bukan sekadar tanah, tetapi juga sumber kehidupan dan masa depan bagi generasi mendatang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper