Bisnis.com, BANDUNG — Industri Kramik dan Kaca tanah air harus terseok-seok lantaran gempuran produk impor dari China yang dijual dengan harga murah dan stok yang melimpah.
Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Nasional, Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan, kondisi ini sudah berlangsung sejak 2010 lalu saat pemberlakukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
“Sejak 2010 lalu perusahaan dalam negeri mulai melemah perlahan karena gempuran produk keramik dan kaca dari China,” kata Reni dalam acara "Temu Usaha Industri Keramik dan Kaca", di Hotel El Royale, Bandung, Rabu (26/5/2019).
Setelah itu, kondisi ini diperparah dengan pemberlakuan perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) awal 2016 lalu. Sehingga, pengusaha industri keramik dan kaca dalam negeri banyak yang mati perlahan.
Reni menyebut, sebetulnya pelaku industri keramik dan kaca dalam negeri di dalam negeri bisa bersaing dengan produk-produk impor. Hanya saja, ongkos produksi yang mahal tidak memungkinkan mereka bersaing dari segi harga.
Ia merinci, ongkos produksi keramik dan kaca di tanah air terbebani oleh harga energi dan bahan baku yang relatif tinggi. Padahal, komposisi keduanya dominan, yakni 30% energi dan 60% bahan baku yang masih relatif tinggi.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian RI terus berupaya meningkatkan daya saing produk dalam negeri dengan memberlakukan SNI wajib khususnya produk keramik dan kaca, kebijakan investasi dan peningkatan daya saing nasional (kebijakan tarif, safeguard, antidumping, NTMs, dll) serta optimalisasi fasilitas fiskal dan nonfiskal.
Ia menilai dengan upaya ini, industri dalam negeri akan mampu berkompetisi dengan produk-produk impor di pasaran.
“Karena sekarang kan yang memutuskan adalah konsumen,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Keramik, Kementerian Perindustrian, Gunawan mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan kualitas produksi dengan penelitian, pengembangan, kerjasama, standardisasi, pengujian, sertifikasi, kalibrasi, dan pengembangan kompetensi industri keramik sesuai kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri.
Hingga saat ini, ia menilai kebutuhan keramik dan kaca nasional sebenarnya bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. Hanya saja, kemampuan dari industri itu sendiri harus terus ditingkatkan agar mampu memenuhi permintaan pasar yang lebih dinamis.
“Bahkan saat ini kita sudah bisa ekspor, namun kita masih harus bersaing dengan produk negara China dan India,” kata Gunawan.
Direktur Penguatan Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian, Badan Standardisasi Nasional (BSN), Heru Suseno mengatakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi industri keramik dan kaca dalam negeri dengan Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Melalui standarisasi ini, diharapakan produk-produk yang dihasilkan atau dijual di Indonesia dapat memenuhi syarat yang telah ditentukan, utamanya guna melindungi konsumen.
“Jadi, produk impor juga harus SNI juga, nah saat produk dalam negeri sudah mampu SNI maka tidak akan terganjal lagi masalah legalitas,” jelasnya.
Selain itu, dengan penerapan SNI juga, pihaknya berusaha melindugi produk lokal dari gempuran produk yang tidak sesuai dengan standar.
“Artinya yang masuk ke sini (Indonesia) adalah produk yang sesuai dengan standar,” ungkapnya.