Bisnis.com, BANDUNG — Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat kian terjepit, penyebabnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 yang mengakibatkan leluasanya produk impor yang didominasi berasal dari Tiongkok membanjiri pasaran nasional.
Momentum Hari Raya Idul Fitri biasanya menjadi berkah bagi pelaku industri TPT di Jawa Barat. Namun, saat ini kondisinya berbanding terbalik, alih-alih meraup cuan tinggi, pelaku industri TPT Jabar malah berguguran. Hal tersebut disampikan oleh Pengusaha Tenun Majalaya, Agus Ruslan.
Agus menuturkan dengan berlakuknya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017, otomatis mengizinkan importir pemegang izin angka pengenal importir umum (API-U) mengimpor beragam produk TPT dengan sangat mudah. Termasuk, sarung dan kain tenun yang diproduksi industri kecil dan menengah (IKM) Majalaya.
"Akibat banjirnya produk impor ini kita tidak hanya berbicara omset turun, tapi malah pabrik tutup. Terakhir, 3 pabrik paling besar tutup karena tidak bisa bersaing. Salah satunya, produksinya mencapai 20.000 kodi per bulan saat ini tidak ada selembarpun yang diproduksi,” kata Agus mewakili ratusan IKM Sarung Majalaya, dalam pernyataan persnya, Sabtu (25/5).
Ia mengatakan saat ini pelaku IKM Majalaya tengah terseok-seok bertahan dari gempuran produk-produk impor. Pasalnya, mahalnya ongkos produksi menjadikan produk sarung pabrikan buatan IKM Majalaya sulit bersaing dengan barang impor.
“Harga bahan baku disini lebih mahal karena kita berbelanja dengan menggunakan Dolar. Ketika dihantam seperti ini bukan hanya nilai omset saja yang dibicarakan tapi bagaimana bisa bertahan sehun kedepan. Siapa lagi yang akan tutup pabrik,” katanya.
Menurut Agus, jumlah IKM di Majalaya pun terus menyusut. Hingga kini pelaku IKM Majalaya hanya menyisakan 45 pabrik dari asalnya 350 pabrik.
Hal serupa disampaikan Pengusaha Pertenunan Majalaya lainnya, yakni Deden Sunega. Ia mengatakan momentum lebaran, sudah lumrah terjadi peningkatan dua hingga tiga kali lipat dibanding hari biasanya. Namun, dengan melimpahnya barang-barang impor di pasar, usahanya lesu.
"Biasanya, kalau 3 tahun ke belakang menjelang lebaran kami panen karena permintaan meningkat. Tapi sekarang, ga ada lonjakan jadi hanya bertahan saja," katanya.
Tak berhenti disana, Deden menuturkan, pabriknya yang memproduksi kain puring pun sudah tidak lagi beroperasi. Pabriknya tersebut merupakan salah satu dari hampir sebagian besar pabrik kain puring yang gulung tikar akibat membanjirnya pakaian jadi impor. Menurutnya, saat ini hanya sekitar 30% pabrik kain puring yang masih bertahan.
“Tidak hanya kain pokok saja yang kena, ini kain puring juga kena imbas. Ketika banyak pakaian jadi yang masuk keseret sampai hulunya,” katanya.
Kemudian ada M Dean Irvandi, Pengusaha Konveksi Kaos. Ia mengatakan jelang lebaran tahun ini, tidak ada peningkatan orderan kaos yang biasanya ia alami beberapa tahun yang lalu.
Ia menduga hal ini terjadi karena pelanggannya mulai memilih untuk memesan kaos ke importir. Pasalnya, ia mendapatkan informasi adanya kaos polos yang ditawarkan di harga Rp 18.000 per helai.
"Biasanya dua minggu sebelum lebaran itu orderan sudah harus selesai, sekarang belum ada. Anjloknya hampir 50%,” ujarnya.
Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Rizal T menilai jika turunnya harga beli masyarakat dijadikan alasan dalam menanggapi meredupnya kinerja industri tanah air, maka alasan tersebut menjadi kontradiktif.
Pasalnya, daya beli masyarakat tengah menguat, hanya saja peluang pasar justru diambil dominan oleh produk-produk impor yang menjual harga dibawah produk lokal.
“Pasar masih punya kemampuan tapi pasarnya dikasih ke luar [impor],” katanya. (K34)(k57)