Bisnis.com, BANDUNG- Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Bahan dan Barang Teknik atau B4T tengah menyusun stadardisasi laboratorium pemeriksaan zat berbahaya dari limbah plastik keras, terutama yang tersebar dari produk elektronik.
Seperti diatur dalam Restriction of Hazardous Substances Directive (RoHS) yaitu pedoman pembatasan penggunaan enam bahan berbahaya dalam proses produksi dan komponen peralatan elektronik. Enam zat berbahaya yaitu timbal, air raksa, cadmium, hexavalent chromiunm,polybrominated biphenyl, dan polybrominated diphenyl eter (PBDE).
Khusus PBDE, persebaran dan tingkat pencemaran dapat meluas karena mencakup segala produk yang mengandung plastik keras. Selain itu, PBDE juga dihasilkan dari proses produksi yang melibatkan bahan petrokimia seperti produksi tekstil ataupun kabel.
Padahal, sebagaimana diatur dalam UU NO.19/2009 tentang ratifikasi Konvensi Stokholm yang mengatur pencemar bahan organik, PBDE masuk dalam kategori zat persisten. Pencemaran PBDE dapat menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan penyakit kanker dan merongrong ketahanan tubuh.
Di sisi lain, zat PBDE telah lama mengepung masyarakat melalui produk elektronik, mulai dari televisi hingga kabel beragam ukuran. Terlebih, program daur ulang limbah produk elektronik masih belum maksimal.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Hijau dan Lingkungan Hidup (IHLH) Kemenperin Teddy Sianturi mengungkapkan sejauh ini, hampir seluruh produk elektronik mengandung PBDE. Sayangnya, meski terdapat regulasi hasil ratifikasi yang mengatur zat berbahaya itu, belum terdapat standar teknis.
Dia mengatakan untuk penyusunan standar, Kemenperin melihat terdapat dua kemungkinan, yakni inisiatif dari lingkungan industri, ataupun pewajiban dari pemerintah. “Untuk standar di produk elektronik yang mengatur kandungan PBDE, kita belum punya,” ungkapnya di Bandung, Senin (12/3/2018).
Bahkan, untuk alat elektronik seperti penguat baterai (power bank) dan handphone yang telah membanjiri pasar dalam negeri satupun belum dilengkapi standar terkait zat berbahaya PBDE. “Lebih parah lagi, sejauh ini produk tersebut pun banyak yang diimpor, sedangkan secara standar kita belum punya, harus disusun segera,” katanya.
Terkait tingkat pencemar organik itu, Lembaga Pembangunan Dunia (UNDP/United Nation Development Programme) ikut mendorong Indonesia mempercepat penyusunan standardisasi. Salah satu inisiasi UNDP yaitu mendorong B4T yang dibawahi Kemenperin untuk menerapkan dan mensosialisasikan standar RoHS khusus PBDE.
Senior Programme Manager UNDP Anton Sri Probiyantono mengungkapkan jika Indonesia lambat menyusun standar yang mampu menangkal masuknya zat pencemar organik, maka kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup terancam. “Jangan sampai dijadikan tempat sampah dari produk global yang tak sehat,” ungkapnya.