Bisnis.com, BANDUNG -- Lesunya aktivitas bongkar muat baik lalu lintas domestik maupun internasional di pelabuhan utama di Jawa Barat harus menjadi alarm bagi regulator maupun pelaku usaha.
Penurunan volume barang yang dimuat dari tiga pelabuhan utama, yakni Pelabuhan Indramayu, Cirebon dan Patimban menjadi indikator penurunan permintaan barang yang diproduksi di Jawa Barat.
Ekonom dari Universitas Padjajaran (Unpad) Ferry Hadiyanto mengatakan ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan penurunan volume pengiriman dari Jawa Barat untuk ekspor maupun antarpulau.
Namun yang menjadi titik fokus dia adalah dari sisi penurunan aktivitas muat antarpulau dari Jawa Barat.
"Kalau ekspor kan kita semua tahu ada Trump War kemarin-kemarin yang sekarang sudah ada kejelasan. Namun, untuk [muat] Antarpulau ini harus jadi perhatian juga," ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (5/8/2025).
Ia menilai ada sejumlah hal yang menyebabkan mobilisasi produk dari Jawa Barat ke luar daerah menurun cukup tajam pada Semester I 2025 ini. Dan satu di antaranya kemungkinan produk asal Jawa Barat yang sudah tidak kompetitif dari segi harga.
Baca Juga
Ia menduga, konsumen dari daerah atau pulau lain sudah mulai mendapatkan subtitusi produk serupa di daerah yang lebih dekat. Sehingga, hal itu menekan ongkos logistik yang menjadi salah satu komponen pembentuk Harga jual.
"Tapi yang harus menjadi catatan itu perdagangan antar pulau, berarti bisa jadi komoditas yang tadinya provinsi lain mengambil dari Jawa Barat, itu mereka mulai mendapatkan subtitusinya dari daerah yang lebih dekat," ungkapnya.
Ia menyontohkan, seperti produk pertanian, mungkin saja konsumen dari provinsi atau pulau lain mendapatkan produk serupa yang biasanya didapat dari Jawa Barat, kini bisa didapatkan dari daerah yang lebih dekat. Sehingga biaya transportasinya lebih murah.
"Jadi jika angka transportasi terus meningkat, pasti konsumen mencari solusi dengan mengimpor dari daerah yang lebih dekat. Ini harus menjadi catatan produsen atau pelaku usaha di Jawa Barat," jelasnya.
"Bisa jadi produk Jawa Barat sudah mulai tergantikan oleh produsen dari daerah lain yang biaya logistiknya lebih murah, ini harus diperhatikan," tambanya.
Belum lagi, ia menduga aktivitas pungli di sepanjang jalur logistik ini masih terjadi. Sehingga, kendaraan ekspedisi harus mengeluarkan kocek lebih dalam yang menyebabkan harga beli barang dari Jawa Barat menjadi lebih mahal.
"Bisa jadi produk Jawa Barat juga sudah tidak kompetitif karena komponen biaya untuk mendapatkan barang dari Jawa Barat bisa jadi tinggi," ungkapnya.
Sementara itu, untuk data penurunan dari aktivitas ekspor, Ferry menilai hal itu disebabkan oleh tekanan ekonomi global.
"Bahwa kita harus sadari ekonomi itu memiliki siklus fluktuasi jadi kadang bisa turun naik, jadi kalau kita dapatkan indikator yang sedang menurun apa lagi aktivitas ekonomi jangka pendek kalau bagi saya itu sah-sah saja, karena itu juga mengikuti pola ekonomi secara global," jelasnya.
Meski demikian, ia optimistis angka mobilitas produk dari Jawa Barat ke pasar global akan Kembali menggeliat pascakejelasan Tarif Trump serta momentum akhir tahun.
"Ekspor kita kan Sebagian besar Tekstil, Barang Elektronik dan mesin-mesin. Itu biasanya ada permintaan cukup tinggi itu mendekati akhir tahun. Karena mendekati akhir tahun di luar negeri itu mereka banyak belanja untuk mempersiapkan tahun baru, natal dan liburan musim dingin," ungkapnya.
"Biasanya pengusaha Jawa Barat mendapatkan kontrak itu di Agustus-Oktober, dan kemungkinan tercatat di semester ke dua. Sebagian besar begitu," tutupnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat volume muat barang dari pelabuhan-pelabuhan tersebut turun serempak, baik untuk lalu lintas domestik maupun internasional.
Kepala BPS Jawa Barat Darwis Sitorus menyebut penurunan volume barang yang dimuat dari tiga pelabuhan utama ini menjadi indikator perlambatan aktivitas logistik dan perdagangan, terutama di sektor ekspor dan distribusi antarpulau.
“Jika dilihat secara kumulatif dari Januari hingga Juni 2025, total volume muat barang di pelabuhan domestik dan internasional di wilayah ini turun masing-masing sebesar 16,84 persen dan 13,81 persen dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujar Darwis, Senin (4/8/2025).
Secara volume, pelabuhan Indramayu masih mendominasi pengiriman barang domestik, namun tidak lepas dari tren penurunan. Selama semester I 2025, volume muat domestik dari pelabuhan ini mencapai 462,41 ribu ton, turun 11,77% dibanding semester I 2024 yang mencapai 524,09 ribu ton.
Untuk lalu lintas internasional, pelabuhan Indramayu bahkan mengalami penurunan yang lebih tajam. Volume muat barang ekspor dari pelabuhan ini hanya mencapai 257,88 ribu ton selama Januari hingga Juni 2025. Angka tersebut turun 18,86% dari tahun sebelumnya yang mencatat 317,81 ribu ton.
Darwis menambahkan, penurunan ekspor dari Indramayu bisa berdampak langsung pada neraca perdagangan regional Jawa Barat, terutama jika tidak diimbangi oleh peningkatan dari pelabuhan lain. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Pelabuhan Cirebon.
Dalam kategori domestik, volume muat barang selama semester I 2025 hanya mencapai 47,40 ribu ton, anjlok 56,39% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 108.680 ton.
“Kami melihat ada penurunan drastis pada sektor logistik dan pengangkutan bahan bangunan serta produk pertanian yang biasa dikirim dari Cirebon,” terang Darwis.
Pada bulan Juni 2025 saja, volume muat barang dari pelabuhan Cirebon hanya tercatat 11,14 ribu ton, meskipun naik 24,49% dibanding Mei 2025, namun secara tahunan tetap anjlok 56,53% dibanding Juni 2024. Kondisi ini menurut Darwis bisa berdampak ke sektor lain.
“Ketika pelabuhan Cirebon lesu, distribusi ke wilayah Ciayumajakuning terganggu, biaya logistik naik, dan ini ujungnya bisa menyentuh inflasi lokal,” jelasnya.
Berbeda dengan dua pelabuhan lainnya, Patimban masih mencatat pertumbuhan positif secara kumulatif untuk semester I 2025. Volume muat barang domestik dari pelabuhan ini mencapai 63,38 ribu ton, naik 12,24% dibanding 56,47 ribu ton pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, pertumbuhan ini tidak berlaku pada data bulan Juni 2025. Volume muat domestik di Patimban tercatat 11,07 ribu ton, turun 1,29% dari Mei 2025, dan turun 5,57% dibandingkan Juni 2024.
Untuk aktivitas internasional, Patimban justru menunjukkan tren positif. Selama semester I 2025, pelabuhan ini mencatat volume muat 67,71 ribu ton, tumbuh 12,92% dari semester I 2024 sebesar 59,96 ribu ton.
“Patimban masih menjadi harapan karena fungsinya sebagai pelabuhan ekspor otomotif mulai stabil. Ini menunjukkan adanya pergeseran jalur ekspor dari pelabuhan lain ke Patimban,” jelas Darwis.
Namun demikian, di bulan Juni 2025, volume ekspor dari Patimban hanya 10,42 ribu ton, turun 33,55% dibanding bulan sebelumnya. Hal ini menurut Darwis bisa bersifat musiman dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Secara keseluruhan, total volume muat barang domestik di ketiga pelabuhan utama pada Juni 2025 tercatat 139,96 ribu ton, turun 3,81% secara tahunan. Sedangkan volume muat internasional hanya mencapai 43,23 ribu ton, turun 42,05% dibanding Juni 2024. Penurunan paling tajam tercatat pada ekspor dari pelabuhan Indramayu, baik secara bulanan (-49,19%) maupun tahunan (-49,76%).
Darwis Sitorus menilai tren penurunan ini harus menjadi perhatian serius, terutama dalam konteks pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang sangat tergantung pada aktivitas perdagangan dan logistik.
“Kami berharap pemangku kebijakan segera merespons situasi ini dengan langkah nyata, mulai dari perbaikan infrastruktur pelabuhan, insentif ekspor, hingga penguatan sistem distribusi domestik,” pungkas Darwis.