Bisnis.com, CIREBON - Sektor perhotelan Kota Cirebon masih menunjukkan performa buruk hingga pertengahan tahun 2025.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon mencatat Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel gabungan, baik bintang maupun nonbintang pada Juni 2025 hanya mencapai 42,67%
Kepala BPS Kota Cirebon Aris Budiyanto menilai bahwa tren penurunan ini menjadi sinyal serius bagi perekonomian daerah.
“Performa sektor perhotelan selama semester I 2025 menunjukkan tekanan berat, baik dari sisi tingkat hunian maupun lama menginap tamu. Ini mencerminkan lemahnya daya tarik wisata lokal sekaligus berkurangnya mobilitas masyarakat,” kata Aris, Selasa (5/8/2025).
Meskipun secara bulanan terjadi kenaikan tipis sebesar 0,47 poin dibandingkan Mei 2025, menurut Aris, itu belum cukup untuk menutupi penurunan tajam dari sisi tahunan.
“Kenaikan kecil ini bersifat musiman dan tidak mencerminkan pemulihan jangka panjang,” ujarnya.
Baca Juga
BPS mencatat, TPK hotel berbintang pada Juni 2025 mencapai 51,09%. Dibandingkan dengan Juni 2024, angka tersebut turun drastis 8,02 poin secara y-on-y. Secara m-to-m, memang ada kenaikan sebesar 0,13 poin, tetapi Aris menyebut hal itu sebagai fluktuasi wajar dalam siklus bulanan.
Ia menambahkan, selain menurunnya minat wisatawan luar daerah, berkurangnya kegiatan dinas pemerintahan dan korporasi swasta juga berkontribusi terhadap rendahnya okupansi.
“Anggaran perjalanan banyak dipangkas. Event skala nasional yang mampu menggerakkan permintaan kamar hotel juga minim,” katanya.
Selain itu, kata Aris, hotel nonbintang di Cirebon juga mengalami tekanan, meskipun tidak separah hotel berbintang. Pada Juni 2025, TPK hotel nonbintang hanya 23,95%, menurun 3,37 poin secara y-on-y. Namun, secara m-to-m mengalami kenaikan sebesar 1,22 poin.
Menurut Aris, hotel nonbintang masih bertahan karena didukung oleh permintaan lokal dan wisatawan dengan anggaran terbatas.
“Mereka melayani segmen pasar yang cenderung tidak terlalu terdampak oleh pengurangan anggaran perjalanan. Tapi tetap saja, secara umum okupansi mereka jauh di bawah ideal,” ucapnya.
Ia menambahkan, margin keuntungan hotel nonbintang jauh lebih tipis, sehingga penurunan tingkat hunian dalam jangka panjang berpotensi membuat banyak usaha kecil di sektor ini gulung tikar.
Tak hanya tingkat hunian, indikator rata-rata lama menginap tamu (RLMT) juga menunjukkan kondisi stagnan. RLMT gabungan hotel bintang dan nonbintang pada Juni 2025 tercatat 1,32 hari, sama seperti Juni 2024. Secara m-to-m, terdapat kenaikan tipis 0,02 poin.
RLMT hotel bintang juga stagnan di angka 1,39 hari secara y-on-y, dan naik sedikit 0,03 poin dari Mei 2025. Sementara itu, RLMT hotel nonbintang turun cukup tajam 0,26 poin secara y-on-y menjadi hanya 1,06 hari. Kenaikan m-to-m hanya 0,01 poin.
Aris menyebut stagnasi RLMT sebagai tanda lemahnya daya tarik wisata di Cirebon. “Rata-rata tamu hanya menginap semalam, lalu pergi. Artinya, mereka tidak menemukan alasan untuk memperpanjang tinggal. Ini pukulan telak bagi potensi belanja wisatawan lokal yang berdampak pada sektor lain,” ujarnya.
Aris menilai, kinerja sektor perhotelan yang memburuk ini tidak bisa dilepaskan dari minimnya program strategis di sektor pariwisata.
Ia juga mendorong kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri hotel, dan pelaku UMKM pariwisata untuk menciptakan ekosistem wisata yang saling menguatkan. “Selama hotel kosong dan lama tinggal tamu pendek, maka ekonomi lokal ikut melemah. Ini efek berantai,” tegas Aris.
Melihat tren semester I 2025, Aris menyebut sektor perhotelan masih jauh dari kata pulih. “Kalau tidak ada intervensi, tren ini bisa berlanjut hingga akhir tahun. Dan itu berarti penurunan pendapatan daerah, hilangnya lapangan kerja, dan merosotnya daya saing wisata Cirebon,” pungkasnya.