Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Garut Produksi Ribuan Ton Tembakau, Tapi Hanya Jadi Penonton Industri Rokok

Produksi tembakau Garut mencapai 2.894,22 ton setara mole, seluruhnya dijual ke pabrik rokok di daerah lain, seperti Kudus, Surabaya, atau Temanggung.
Sejumlah pekerja menata tembakau rajangan di gudang penyimpanan PT Gudang Garam Bulu, Temanggung, Jateng, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sejumlah pekerja menata tembakau rajangan di gudang penyimpanan PT Gudang Garam Bulu, Temanggung, Jateng, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Bisnis.com, GARUT -  Kabupaten Garut mencatat produksi tembakau hampir 2.900 ton dalam satu tahun terakhir. Angka tersebut menandakan potensi besar dari sektor pertanian tembakau. 

Namun ironisnya, di balik capaian itu, seluruh hasil panen petani Garut justru langsung diserap industri rokok luar daerah. Tidak ada pabrik rokok berskala besar di Garut dan itu berarti nilai tambah ekonomi tembakau tak pernah tinggal di daerah asal.

Data resmi Dinas Pertanian (Dispertan) Kabupaten Garut menunjukkan bahwa produksi tembakau tahun ini mencapai 2.894,22 ton setara mole, seluruhnya dijual ke pabrik rokok di daerah lain, seperti Kudus, Surabaya, atau Temanggung. 

Sementara itu, luas lahan tanam tembakau di Garut mengalami peningkatan 4 persen menjadi 3.381,81 hektare, naik dari 3.251,50 hektare pada 2023.

“Kapasitas industri hasil tembakau di Kabupaten Garut tidak memungkinkan untuk menyerap seluruh hasil produksi. Praktis, tembakau Garut semuanya keluar daerah,” kata Kepala Bidang Sarana Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Dispertan Garut Ardhy Firdian, Senin (28/7/2025).

Ardhy mengatakan, Garut menjadi contoh bagaimana daerah penghasil komoditas hanya berperan sebagai pemasok bahan baku, bukan pelaku utama ekonomi. 

Petani menjual tembakau dalam bentuk mentah, sementara industri rokok yang memberi nilai tambah dan laba besar, justru berkembang di daerah lain. Garut pun hanya menonton uang mengalir keluar.

Menurutnya, ketiadaan industri pengolahan tembakau lokal juga berarti petani tidak punya posisi tawar. Harga jual ditentukan oleh pembeli besar dari luar daerah, atau perantara yang menekan margin keuntungan petani.

“Petani tidak punya pilihan. Mereka jual ke luar karena tidak ada pabrik di Garut. Dari dulu begitu. Yang untung tetap industri besar,” ujarnya.

Data Dispertan menunjukkan, kebutuhan tembakau kering secara nasional pada 2023 mencapai 318.140 ton. Bandingkan dengan produksi Garut yang tak sampai 3.000 ton, kontribusi Garut hanya sekitar 0,9 persen dari kebutuhan nasional.

Permintaan pasar besar itu seharusnya bisa menjadi peluang ekonomi bagi Garut. Tapi realitasnya, ketiadaan industri lokal membuat Garut hanya menjadi daerah transit produksi, bukan pusat pertumbuhan ekonomi tembakau.

“Angka ini menunjukkan ketimpangan. Kita punya lahan, punya produksi, tapi nilai ekonomi malah lari ke luar,” katanya.

Dorongan ekspansi lahan tembakau semakin besar. Di wilayah selatan Garut seperti Kecamatan Cikelet, petani mulai menanam tembakau dalam dua tahun terakhir karena melihat peluang pendapatan lebih baik dibandingkan komoditas lain.

Namun ekspansi itu juga berisiko menjadi perangkap ekonomi. Tanpa regulasi harga dan jaminan pasar, petani bisa terjebak pada ketergantungan terhadap pembeli luar daerah. Lebih buruk lagi, mereka rentan terdampak kebijakan nasional, terutama soal pembatasan konsumsi rokok.

“Peluang usahanya ada, tapi bertentangan dengan tren kebijakan nasional yang membatasi rokok. Di satu sisi petani didorong tanam tembakau, di sisi lain negara membatasi pasarnya. Kontradiktif,” ujar Ardhy.

Pemerintah Kabupaten Garut sejauh ini belum mampu menarik investasi untuk industri pengolahan tembakau. Wacana membangun industri lokal selalu terdengar, tapi tidak pernah terealisasi.

“Kita dorong pendampingan petani, jaga kualitas tembakau. Tapi soal industri, memang belum ada langkah konkret,” kata Ardhy.

Ditambahkan Ardhy, model ekonomi seperti ini membuat petani tembakau di Garut rentan dan tidak berdaulat atas komoditasnya sendiri. Mereka tidak bisa menentukan harga, tidak bisa memilih pasar, dan tidak bisa menikmati hasil dari proses produksi yang mereka kerjakan.

Sementara itu, pemerintah daerah kehilangan peluang pendapatan dari sektor pengolahan, kehilangan lapangan kerja, dan kehilangan kemandirian ekonomi.

Selama Garut tidak membangun industri pengolahan sendiri, selama kebijakan pembangunan hanya fokus pada produksi tanpa mengurus hilirisasi, maka daerah ini akan tetap miskin di tengah melimpahnya produksi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro