Bisnis.com, GARUT - Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jawa Barat memastikan sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Garut yang terkena bencana alam masih dapat menghasilkan gabah.
Dari total 75,44 hektare sawah terdampak, hanya 3,96 hektare mengalami gagal panen, sementara 71,48 hektare lainnya dipastikan tetap produktif.
Koordinator Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) BPTPH Jawa Barat Ahmad Firdaus mengatakan sebagian besar kerusakan diakibatkan banjir dan longsor, namun kondisi lahan tidak sampai menyebabkan kerusakan permanen pada tanaman padi.
“Banjir yang terjadi bersifat sementara, air sempat menggenangi lahan namun segera surut. Sedangkan di lokasi longsor, tanaman padi tidak tertimbun. Oleh karena itu, padi tetap bisa tumbuh dan menghasilkan gabah,” ujar Ahmad, Senin (28/7/2024).
Ahmad merinci, tanaman padi yang masih bisa dipanen berada pada berbagai tahap pertumbuhan, mulai dari usia tanam tujuh hari hingga mendekati masa panen.
Berdasarkan perhitungan BPTPH, dari lahan 71,48 hektare yang tetap produktif, diperkirakan akan dihasilkan sekitar 489,85 ton gabah kering panen (GKP).
Baca Juga
Sementara itu, akibat puso di lahan seluas 3,96 hektare, diperkirakan terjadi kerugian produksi sekitar 27,14 ton gabah. Kendati demikian, Ahmad menilai skala kerusakan ini relatif kecil bila dibandingkan luas total lahan sawah di Garut.
“Secara keseluruhan, Garut memiliki sekitar 46.816 hektare lahan sawah aktif. Jadi, area yang terdampak bencana ini hanya sekitar 0,16 persen dari total luas lahan. Dampaknya terhadap produksi pangan daerah ini masih sangat terbatas,” jelasnya.
BPTPH mencatat, bencana yang terjadi berkaitan erat dengan Dampak Perubahan Iklim (DPI) yang menyebabkan tingginya curah hujan di sejumlah kecamatan. Tim pengendali lapangan secara rutin melakukan monitoring agar risiko serupa tidak berkembang lebih luas.
Menurut Ahmad, DPI kini menjadi faktor yang tak terpisahkan dari ancaman terhadap ketahanan pangan, karena banjir, kekeringan, hingga serangan hama semakin sering terjadi akibat pola cuaca ekstrem.
“Bencana alam memang bisa mengganggu produktivitas, tapi kami pastikan upaya pengendalian terus dilakukan. Kami tangani tidak hanya hama, tapi juga risiko banjir dan kekeringan agar petani tetap bisa memanen hasil secara optimal,” katanya.
Dalam rangka mengurangi kerugian ekonomi petani, Ahmad mendorong pelaksanaan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Program ini memberikan kompensasi sebesar Rp6 juta per hektare bagi petani yang gagal panen akibat bencana alam atau gangguan lainnya.
“Petani bisa mendaftar program ini sebelum masa tanam. Jika terjadi puso, petani tidak kehilangan seluruh modal tanamnya. Ini salah satu perlindungan paling efektif saat cuaca tidak menentu seperti sekarang,” katanya.
Selain itu, BPTPH juga bekerja sama dengan petani dan pihak terkait untuk memperkuat sistem irigasi. Salah satu fokus utama adalah normalisasi saluran irigasi, agar air hujan tidak meluap ke sawah dan menyebabkan genangan.
Meskipun dampak bencana kali ini tergolong ringan, Ahmad mengimbau agar petani tetap waspada terhadap potensi bencana susulan. Terlebih, prediksi cuaca menunjukkan adanya kemungkinan hujan intensitas tinggi dalam beberapa pekan ke depan.
“Dengan kondisi iklim yang tidak menentu, kehati-hatian harus ditingkatkan. Kami siap mendampingi petani agar tidak sampai kehilangan hasil panen,” pungkasnya.