Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kawasan Batik Trusmi Cirebon Mulai Dirapikan Menjadi Ikon Wisata seperti Malioboro

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi siap menata dengan serius kawasan Batik Trusmi Cirebon agar menjadi ikon wisata budaya seperti Malioboro.
Penertiban kawasan Batik Trusmi Cirebon/JIBI-Hakim Baihaqi
Penertiban kawasan Batik Trusmi Cirebon/JIBI-Hakim Baihaqi

Bisnis.com, CIREBON - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mulai menunjukkan keseriusannya dalam menata kawasan Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon. Kawasan yang dikenal sebagai sentra batik terbesar di Jawa Barat itu kini menjadi fokus penataan ulang, demi menciptakan kawasan wisata yang lebih tertib, nyaman, dan ramah bagi wisatawan.

Langkah awal penataan itu ditandai dengan sosialisasi dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di bahu Jalan Syekh Datul Kahfi, Desa Weru Lor, Kecamatan Weru, Rabu (4/6/2025). 

Kepala Satpol PP Kabupaten Cirebon, Imam Ustadi, menyatakan, penertiban ini bukan semata-mata bentuk penegakan aturan, tetapi juga bagian dari strategi besar dalam penataan ruang kawasan wisata Trusmi.

“Kita ingin menjadikan jalan ini kembali ke fungsinya sebagai jalur pedestrian, bukan tempat berjualan. Tapi kita juga tidak ingin mematikan mata pencaharian pedagang. Solusinya, kita arahkan mereka untuk pindah ke dalam pasar resmi, yaitu Pasar Pasalaran,” kata Imam, Kamis (5/6/2025).

Namun Imam optimistis, penertiban ini akan diterima masyarakat, asalkan dilakukan secara persuasif dan dibarengi dengan solusi nyata. Ia menekankan bahwa langkah ini bukan untuk menyusahkan rakyat, melainkan demi kepentingan jangka panjang.

“Trusmi ini punya potensi besar sebagai ikon wisata budaya. Kita ingin mengangkat citra kawasan ini, seperti Malioboro di Yogyakarta. Jalannya harus rapi, pejalan kaki nyaman, wisatawan pun betah. Jika tertata baik, ekonomi warga juga ikut tumbuh,” imbuhnya.

Salah satu pedagang, Holifah (39), yang sudah berjualan di pinggir Jalan Syekh Datul Kahfi selama empat tahun, mengaku kecewa. Ia merasa proses relokasi terlalu mendadak dan tanpa pertimbangan kondisi ekonomi pedagang kecil.

“Saya pedagang kecil, sewa di dalam pasar mahal. Kalau harus pindah tanpa persiapan, saya bingung harus makan dari mana,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Diberitakan sebelumnya, Kawasan Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, masih jauh dari mimpi menjadi Malioboro kedua. Trotoarnya disesaki pedagang kaki lima, kabel utilitas menjuntai semrawut, dan badan jalan beraspal tambal sulam yang memantulkan getir harapan warga. 

Kawasan Trusmi, tepatnya di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, sejatinya adalah jantung batik Cirebon. Hampir setiap rumah menjadi showroom, tempat membatik, atau toko oleh-oleh. Tapi kondisi lingkungannya justru jauh dari representasi budaya adiluhung yang mereka jual.

Alih-alih kawasan wisata tertib dan nyaman, Trusmi menyerupai pasar darurat. Kabel utilitas menjuntai rendah dari tiang ke tiang, menjalar ke ruko-ruko bak akar di udara. Trotoar habis terokupasi lapak, sepeda motor parkir sembarangan, sementara pejalan kaki berjalan menepi ke bahu jalan yang rusak.

Wacana menjadikan Kawasan Batik Trusmi sebagai Malioboronya Cirebon bukan hal baru. Bahkan sejak 2012, Pemerintah Kabupaten Cirebon pernah menggagas revitalisasi kawasan ini. 

Namun lebih dari satu dekade berlalu, wajah Trusmi tak banyak berubah. Pembangunan fisik sempat dilakukan, namun tak tuntas. Terbukti dari banyaknya trotoar terputus, drainase dangkal, dan area parkir ilegal yang merajalela.

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi mengatakan, proyek penataan Trusmi kerap terganjal koordinasi lintas dinas dan minimnya anggaran prioritas.

“Kami menyadari pentingnya kawasan ini, namun karena penanganannya lintas sektor—ada Dinas Perdagangan, PUPR, Perhubungan, dan Satpol PP—sering kali implementasi di lapangan tidak sinkron,” kata Imron.

Imron menambahkan, pihaknya telah mengusulkan kawasan Trusmi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD) sejak 2022, namun hingga kini belum ada keputusan final.

Di sisi lain, para pedagang kecil merasa was-was dengan wacana penataan. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Setiap kali mendengar kata “penertiban”, bayangan relokasi dan sepinya pembeli langsung menyergap.

Salah satunya dirasakan Rohmat, pedagang batik kaki lima yang lapaknya menjorok ke trotoar. “Dulu pernah ada Satpol PP datang, tapi setelah itu ya begitu lagi. Kalau lapak saya digusur, saya enggak tahu harus ke mana. Modal buat sewa toko tidak ada,” katanya.

Hal ini menunjukkan ironi yang tajam. Para pedagang adalah denyut nadi ekonomi Trusmi, tapi keberadaan mereka yang tak tertata justru jadi penghambat utama pembangunan kawasan.

Pemerintah daerah menghadapi dilema klasik: bagaimana menata kawasan tanpa mematikan mata pencaharian warga yang menggantungkan hidup dari kaki lima.

Menurut catatan sejarah, Batik Trusmi telah ada sejak abad ke-16, berakar dari ajaran Ki Gede Trusmi, murid Sunan Gunung Jati. Warisan membatik ini tak sekadar motif, tetapi juga filosofi, doa, dan etika spiritualitas Islam yang dituangkan dalam kain.

Imron mengatakan, pentingnya menata Trusmi sebagai bagian dari pelestarian budaya.

“Trusmi itu bukan hanya pusat ekonomi, tapi juga tapak sejarah Cirebon. Sayang kalau tata kelolanya kalah jauh dari Malioboro, yang berhasil menyatukan budaya, ekonomi, dan estetika kota,” katanya.

Bandingkan dengan Malioboro

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper