Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kawasan Batik Trusmi Sarat Budaya Tapi Tak Dikelola Sebaik Malioboro

Kawasan Trusmi sejatinya adalah jantung batik Cirebon. Hampir setiap rumah menjadi showroom, tempat membatik, atau toko oleh-oleh.
Kawasan sentra batik Trusmi, Kabupaten Cirebon/Bisnis
Kawasan sentra batik Trusmi, Kabupaten Cirebon/Bisnis

Bisnis.com, CIREBON - Kawasan Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon masih jauh dari mimpi menjadi Malioboro kedua. Trotoarnya disesaki pedagang kaki lima, kabel utilitas menjuntai semrawut, dan badan jalan beraspal tambal sulam yang memantulkan getir harapan warga. 

Kawasan Trusmi, tepatnya di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, sejatinya adalah jantung batik Cirebon. Hampir setiap rumah menjadi showroom, tempat membatik, atau toko oleh-oleh. Tapi kondisi lingkungannya justru jauh dari representasi budaya adiluhung yang mereka jual.

Alih-alih kawasan wisata tertib dan nyaman, Trusmi menyerupai pasar darurat. Kabel utilitas menjuntai rendah dari tiang ke tiang, menjalar ke ruko-ruko bak akar di udara. Trotoar habis terokupasi lapak, sepeda motor parkir sembarangan, sementara pejalan kaki berjalan menepi ke bahu jalan yang rusak.

Wacana menjadikan Kawasan Batik Trusmi sebagai Malioboronya Cirebon bukan hal baru. Bahkan sejak 2012, Pemerintah Kabupaten Cirebon pernah menggagas revitalisasi kawasan ini. 

Namun lebih dari satu dekade berlalu, wajah Trusmi tak banyak berubah. Pembangunan fisik sempat dilakukan, namun tak tuntas. Terbukti dari banyaknya trotoar terputus, drainase dangkal, dan area parkir ilegal yang merajalela.

Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan proyek penataan Trusmi kerap terganjal koordinasi lintas dinas dan minimnya anggaran prioritas.

“Kami menyadari pentingnya kawasan ini, namun karena penanganannya lintas sektor—ada Dinas Perdagangan, PUPR, Perhubungan, dan Satpol PP—sering kali implementasi di lapangan tidak sinkron,” kata Imron, Senin (12/5/2025).

Imron menambahkan, pihaknya telah mengusulkan kawasan Trusmi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD) sejak 2022, namun hingga kini belum ada keputusan final.

Di sisi lain, para pedagang kecil merasa was-was dengan wacana penataan. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Setiap kali mendengar kata “penertiban”, bayangan relokasi dan sepinya pembeli langsung menyergap.

Salah satunya dirasakan Rohmat, pedagang batik kaki lima yang lapaknya menjorok ke trotoar. “Dulu pernah ada Satpol PP datang, tapi setelah itu ya begitu lagi. Kalau lapak saya digusur, saya enggak tahu harus ke mana. Modal buat sewa toko tidak ada,” katanya.

Hal ini menunjukkan ironi yang tajam. Para pedagang adalah denyut nadi ekonomi Trusmi, tapi keberadaan mereka yang tak tertata justru jadi penghambat utama pembangunan kawasan.

Pemerintah daerah menghadapi dilema klasik: bagaimana menata kawasan tanpa mematikan mata pencaharian warga yang menggantungkan hidup dari kaki lima.

Menurut catatan sejarah, Batik Trusmi telah ada sejak abad ke-16, berakar dari ajaran Ki Gede Trusmi, murid Sunan Gunung Jati. Warisan membatik ini tak sekadar motif, tetapi juga filosofi, doa, dan etika spiritualitas Islam yang dituangkan dalam kain.

Imron mengatakan pentingnya menata Trusmi sebagai bagian dari pelestarian budaya.

“Trusmi itu bukan hanya pusat ekonomi, tapi juga tapak sejarah Cirebon. Sayang kalau tata kelolanya kalah jauh dari Malioboro, yang berhasil menyatukan budaya, ekonomi, dan estetika kota,” katanya.

Bandingkan dengan Malioboro

Malioboro, sebagai ikon wisata Yogyakarta, memiliki trotoar rapi, zona pedestrian yang luas, street furniture yang seragam, hingga aturan ketat tentang tata kelola PKL. 

Keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan partisipasi warga, relokasi bertahap, dan political will yang kuat dari pemerintah daerah.

Imron mengatakan, penataan kawasan Trusmi harus dilakukan dengan pendekatan budaya dan pemberdayaan, bukan hanya penertiban semata.

“Batik itu identitas. Maka menata kawasan Trusmi bukan sekadar soal fisik, tetapi juga membangun kesadaran kolektif warga bahwa tempat itu harus dijaga, dirawat, dan dibanggakan,” kata Imron.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mendesak Pemerintah Kabupaten Cirebon segera melakukan perubahan tata ruang secara menyeluruh. Desakan itu disampaikan mengingat potensi budaya, sejarah, dan ekonomi Kabupaten Cirebon yang dinilai belum tergarap secara maksimal.

Hal tersebut disampaikan Dedi Mulyadi saat menghadiri rapat paripurna Hari Jadi Ke-543 Kabupaten Cirebon di Ruang Paripurna DPRD Kabupaten Cirebon, Senin (21/4/2025). 

Dedi menegaskan Kabupaten Cirebon memiliki identitas khas yang sangat kuat, mulai dari arsitektur bangunan, kuliner, hingga nilai-nilai kebudayaan Islam yang tertanam sejak masa kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa.  

Namun, potensi tersebut terancam hilang jika tata ruang tidak segera diatur dengan pendekatan yang selaras dengan nilai historis dan karakter lokal. 

"Yang pertama, infrastrukturnya ke depan harus secara bersama-sama dibenahi, dari pusat kota sampai desa. Infrastrukturnya bukan hanya jalan, tapi bangunan-bangunan harus ditata arsitekturnya, dikembalikan ke khas gaya Kacirebonan,” ujar Dedi. 

Menurutnya, wajah Kabupaten Cirebon harus mencerminkan nilai sejarah dan budaya yang khas. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah daerah segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Arsitektur Budaya Khas Cirebon yang secara khusus mengatur tentang bentuk, pola, dan penataan kawasan agar sesuai dengan identitas lokal. 

Bali bisa kokoh karena tertata, karena mereka menjadikan ruh budaya sebagai satu kesatuan. Nah, Cirebon juga bisa. Kita tidak cukup hanya menjual alam. Budaya dan tata ruang harus dijadikan fondasi pembangunan,” tegasnya. 

Dedi juga meminta Pemkab Cirebon memperhatikan penataan sektor kuliner dan industri kreatif. Ia menilai makanan khas Cirebon sudah mulai menasional dan digemari masyarakat luar daerah, namun penyajiannya masih belum tertata.  

Ia mendorong adanya standarisasi outlet makanan, penataan kawasan kuliner, serta pengembangan desain yang mendukung pariwisata budaya. “Ke depan, tempat-tempat makanannya harus ditata, outlet-outletnya diperbaiki. Bukan hanya soal rasa, tapi tampilan dan atmosfer tempat makannya juga harus khas,” ujarnya. 

Ia juga menyoroti keberadaan becak tradisional yang dianggap sebagai elemen budaya visual di kawasan kota lama. Becak-becak itu, kata dia, harus direstorasi dengan cat dan lukisan bergaya khas Kacirebonan. 

“Kalau orang masuk Cirebon, harus terasa beda. Harus seperti masuk ke kota tua yang hidup, bukan kota yang acak-acakan,” katanya. 

Dalam kesempatan itu, Dedi menyampaikan keinginannya agar Kabupaten Cirebon ke depan menjadi kabupaten kebudayaan terbesar di Jawa Barat. 

Ia mengusulkan agar Cirebon meniru strategi pembangunan kebudayaan seperti yang diterapkan di Yogyakarta—dengan pendekatan historis, pelestarian keraton, penguatan batik, dan pengembangan sektor pertanian serta kelautan yang berpadu dalam satu narasi kebudayaan. 

"Cirebon punya semua: keraton ada, batik punya, kuliner luar biasa, ada petani, ada nelayan. Dialektika budaya Islam di sini sangat kuat. Maka harus dibangun tata ruang yang menjadikan semua elemen itu hidup dan terhubung,” ucapnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper