Malioboro, sebagai ikon wisata Yogyakarta, memiliki trotoar rapi, zona pedestrian yang luas, street furniture yang seragam, hingga aturan ketat tentang tata kelola PKL.
Keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan partisipasi warga, relokasi bertahap, dan political will yang kuat dari pemerintah daerah.
Imron mengatakan, penataan kawasan Trusmi harus dilakukan dengan pendekatan budaya dan pemberdayaan, bukan hanya penertiban semata.
“Batik itu identitas. Maka menata kawasan Trusmi bukan sekadar soal fisik, tetapi juga membangun kesadaran kolektif warga bahwa tempat itu harus dijaga, dirawat, dan dibanggakan,” kata Imron.
Dedi menegaskan Kabupaten Cirebon memiliki identitas khas yang sangat kuat, mulai dari arsitektur bangunan, kuliner, hingga nilai-nilai kebudayaan Islam yang tertanam sejak masa kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa.
Namun, potensi tersebut terancam hilang jika tata ruang tidak segera diatur dengan pendekatan yang selaras dengan nilai historis dan karakter lokal.
Baca Juga
"Yang pertama, infrastrukturnya ke depan harus secara bersama-sama dibenahi, dari pusat kota sampai desa. Infrastrukturnya bukan hanya jalan, tapi bangunan-bangunan harus ditata arsitekturnya, dikembalikan ke khas gaya Kacirebonan,” ujar Dedi.
Menurutnya, wajah Kabupaten Cirebon harus mencerminkan nilai sejarah dan budaya yang khas. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah daerah segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Arsitektur Budaya Khas Cirebon yang secara khusus mengatur tentang bentuk, pola, dan penataan kawasan agar sesuai dengan identitas lokal.
Bali bisa kokoh karena tertata, karena mereka menjadikan ruh budaya sebagai satu kesatuan. Nah, Cirebon juga bisa. Kita tidak cukup hanya menjual alam. Budaya dan tata ruang harus dijadikan fondasi pembangunan,” tegasnya.
Dedi juga meminta Pemkab Cirebon memperhatikan penataan sektor kuliner dan industri kreatif. Ia menilai makanan khas Cirebon sudah mulai menasional dan digemari masyarakat luar daerah, namun penyajiannya masih belum tertata.
Ia mendorong adanya standarisasi outlet makanan, penataan kawasan kuliner, serta pengembangan desain yang mendukung pariwisata budaya. “Ke depan, tempat-tempat makanannya harus ditata, outlet-outletnya diperbaiki. Bukan hanya soal rasa, tapi tampilan dan atmosfer tempat makannya juga harus khas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti keberadaan becak tradisional yang dianggap sebagai elemen budaya visual di kawasan kota lama. Becak-becak itu, kata dia, harus direstorasi dengan cat dan lukisan bergaya khas Kacirebonan.
“Kalau orang masuk Cirebon, harus terasa beda. Harus seperti masuk ke kota tua yang hidup, bukan kota yang acak-acakan,” katanya.