Bisnis.com, CIREBON- Para pelaku industri batik di Kawasan Trusmi, Kabupaten Cirebon menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah dalam menata ulang kawasan sentra batik tersebut.
Dukungan ini disampaikan langsung oleh Paguyuban Perajin dan Pengusaha Batik Cirebon (P3BC) yang menilai penataan menyeluruh menjadi langkah mendesak untuk mengembalikan kejayaan kawasan Trusmi sebagai ikon batik nasional.
Ketua P3BC, Heri Kismo mengatakan hingga saat ini terdapat lebih dari 3.000 pelaku yang menggantungkan hidupnya dari industri batik di Trusmi. Jumlah itu tidak hanya mencakup pemilik toko atau pengusaha, melainkan juga perajin, penjahit, pelapak daring, hingga kurir ekspedisi pengiriman produk batik.
"Ini bukan hanya kawasan dagang, tapi kawasan budaya yang terbentuk dari sejarah panjang pembatikan. Kami mendukung penataan selama tetap memperhatikan nasib para pelaku utamanya," ujar Heri, Selasa (15/7/2025).
Lebih lanjut, Heri menuturkan Trusmi bukanlah kawasan pedagang kaki lima yang tumbuh karena limpahan pasar umum. Menurutnya, kekuatan Trusmi justru terletak pada jejaring komunitas pembatik yang telah lama terbentuk secara organik.
"Trusmi ini tidak bisa disamakan dengan kawasan kuliner dadakan atau PKL. Tempat ini tumbuh karena batik. Ada ratusan tahun sejarah, dan pengaruhnya besar ke perajin-perajin batik dari daerah lain, termasuk Yogyakarta," jelasnya.
Baca Juga
Data dari P3BC menyebutkan, saat ini hanya tersisa sekitar 102 toko dan workshop batik yang masih aktif di Trusmi. Angka ini jauh menurun dibandingkan kondisi lima hingga tujuh tahun lalu, saat jumlah unit usaha bisa mencapai dua kali lipatnya.
Penurunan tersebut disebut tidak lepas dari sejumlah persoalan mendasar yang belum kunjung terselesaikan, salah satunya menyangkut infrastruktur kendaraan.
"Yang paling mendesak adalah persoalan kantong parkir. Kami kesulitan mendapatkan lahan yang cukup, apalagi untuk menampung bus wisata yang datang secara rombongan," ungkap Heri.
Minimnya lahan parkir membuat kunjungan wisatawan, terutama dari luar daerah, terus menurun.
Saat ini, satu-satunya area parkir yang tersedia berada di sekitar lokasi uji KIR kendaraan milik dinas perhubungan. Namun, letaknya terlalu jauh dari pusat kegiatan batik di Trusmi. Kondisi ini membuat banyak rombongan wisata enggan singgah.
"Kalau harus berjalan jauh dengan anak-anak atau orang tua, tentu banyak yang memilih tidak mampir. Ini yang merugikan kami sebagai pelaku usaha," tambahnya.
Heri dan para pelaku usaha batik mendesak adanya keterlibatan lebih aktif dari pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.
Ia menilai bahwa revitalisasi kawasan Trusmi tidak bisa hanya dilakukan secara seremonial, melainkan butuh pendekatan menyeluruh yang menyentuh tiga aspek utama: infrastruktur, tata ruang, dan integrasi ekosistem UMKM.
"Selama ini kami hanya diminta bersolek saat ada kunjungan pejabat atau event budaya. Padahal yang kami butuhkan adalah dukungan riil dalam bentuk sarana, akses, dan regulasi zonasi yang berpihak pada pelaku batik," katanya.
Menurutnya, keberadaan kaki lima yang tidak terkendali juga menjadi salah satu penyebab citra Trusmi mulai bergeser.
Para pelaku batik merasa keberadaan PKL yang tidak tertib mengganggu estetika kawasan dan membuat pembeli kebingungan membedakan produk batik autentik dengan produk massal.
"Kalau tidak ditata, kawasan ini akan kehilangan jati dirinya. Kami pelaku batik tidak anti-pasar, tapi semua harus diatur. Ini kawasan yang bisa menjadi seperti Malioboro-nya Cirebon, kalau dikelola dengan benar," tegas Heri.
Trusmi merupakan kawasan strategis yang tidak hanya menyumbang pendapatan asli daerah dari sektor perdagangan dan pariwisata, tapi juga menjadi pusat pendidikan informal bagi generasi pembatik.
Banyak anak muda dari desa-desa sekitar belajar membatik dari para sesepuh di kawasan ini. Bahkan, sejumlah perajin dari luar Jawa Barat pun menjadikan Trusmi sebagai tempat magang dan observasi.
"Sudah banyak pembatik dari luar kota yang belajar di sini. Kami sering menerima tamu dari Yogyakarta, Pekalongan, bahkan Bali. Tapi kalau kawasan ini dibiarkan rusak, maka fungsinya sebagai rujukan akan hilang," kata Heri.
Pelaku usaha batik ingin menjadikan Trusmi sebagai pusat ekonomi kreatif, sejalan dengan penataan ulang kawasan-kawasan wisata potensial di Jawa Barat. Namun, proses ini akan berjalan efektif bila para pelaku utama di dalam kawasan dilibatkan secara aktif dalam setiap tahap perencanaan.
"Kami bukan hanya obyek pembangunan, kami subyek. Kami pelaku sejarah di Trusmi. Kalau mau ditata, kami siap mendukung, asal benar-benar berpihak," pungkas Heri Kismo.