Bisnis.com, BANDUNG — Mimpi Ginanjar Citra Budiana untuk menyekolahkan anak-anak asuhnya hingga ke jenjang tinggi mengharuskan ia dan empat rekannya dalam Komunitas Rumahku Surgaku, mengerahkan segala cara.
Alasan ini juga yang menjadi cikal bakal lahirnya jenama Arae Ecoprint yang kini digandrungi penikmat fesyen dari pelbagai penjuru dunia.
Ginanjar atau karib disapa Gingin ini bercerita, latar belakang perekonomian keluarganya memang menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi dalam dirinya. Hingga ia berpikir, untuk memperjuangkan nasib anak lain yang nasibnya tak beruntung agar bisa memiliki kehidupan yang laik melalui komunitas tersebut.
“Saya itu dulu kalau untuk sekolah harus ngumpulin dulu pakis, terus saya jual, setiap hari seperti itu,” ungkapnya kepada Bisnis.
Dibesarkan oleh ibu yang berprofesi sebagai buruh bantu dan ayah buruh bangunan, tidak membuatnya kecil hati. Justru kondisi itu membangunkannya agar bisa berbuat banyak kepada sesama.
Seiring sejalan, ia bersama empat anak yang tak beruntung seperti dirinya, bahu membahu membangun usaha untuk biaya pendidikan mereka sendiri.
Baca Juga
“Agar anak didik saya bisa sekolah, kuliah, artinya kita harus dapat banyak uang, jadi kita bangun usaha bareng-bareng,” jelasnya.
Usaha itu dimulai dengan membuat usaha roti ala kadarnya yang dijajakan ke sekolah hingga masjid-masjid. Dari hasil berjualan roti itu, anak asuhnya mulai bisa menamatkan sekolah satu persatu hingga kini bertambah menjadi 25 orang anak asuh yang ia perjuangkan nasibnya.
Sempat berjalan beberapa waktu, hingga akhirnya usaha roti itu harus terganggu lantaran mixer untuk membuat roti rusak. Kondisi itu membuat perekonomian komunitasnya terganggu.
“Saya sampai harus mengajukan pinjaman, untuk beli mixer baru. Tapi saya juga mikir, kalau hanya dari hasil roti yang keuntungannya Rp500/pcs, anak-anak bakal sulit untuk lanjutin sekolah,” jelasnya.
Dalam masa pencariannya, Gingin mendapat masukan dari tetangganya agar menggeluti usaha ecoprint. Berbekal nekat dan sumber pengetahuan seadanya, Gingin lantas membuat penelitian mandiri, mencoba dari satu resep ke resep lain, satu teknik ke teknik yang lain selama 2 tahun lamanya.
“Dari pagi ketemu pagi, saya uji coba sendiri, sampai saya drop badan,” ungkapnya.
Bak gayung bersambut, ia kemudian mendapat kesempatan berharga di tengah keterbatasan dana. Ia didaftarkan secara gratis oleh tetangganya itu untuk ikut dalam Workshop Rona Jejak Alam (Rojak) dan tanpa disangka hasil ecoprint di atas selembar sutra yang dibuat oleh timnya untuk pertama kali menjuarai acara itu dan mendapat hadiah Rp15 juta.
“Rp15 juta itu yang jadi modal awal kita memulai usaha Arae Ecoprint ini,” jelasnya.
Kain-kain yang dihasilkan oleh Arae Ecoprint ini memang cukup unik dan berbeda dengan yang ada di pasaran. Racikan Gingin dan tim ternyata mampu menghasilkan kain bercorak alam yang lebih berwarna dan tahan lama.
“Kami itu nggak pakai pewarna buatan, semuanya warna dari daun itu sendiri,” jelasnya.
Sebelum kain dicetak dengan daun-daun yang ada di sekitar, ia menyiapkan kain yang dipastikan 100% katun. Kain itu kemudian ia racik melalui proses modan dengan merendam kain menggunakan bahan yang diterima alam, seperti nunjung, cuka, tawas dan soda as.
“Setelah kering direndam lagi pakai Calcium Carbonat, lalu mulai dicetak dengan daun-daun yang ada,” jelasnya.
Ia mengaku, dengan hasil penjualan produk premium ini, ia bisa menabung lebih besar, tidak hanya untuk mencukupi biaya hidup dan pendidikan dirinya dan anak asuhnya, tapi juga bisa membangun ekosistem bisnis yang lebih besar.
Bagaimana tidak, kain-kain buatan Arae Ecoprint justru disukai oleh konsumen luar negeri, utamanya negara-negara Eropa yang memiliki selera fesyen yang tinggi.
Bahkan, ia sudah memiliki desa binaan untuk membuat produk serupa yang kini ada di dua tempat, yakni di Rantau Jaya Baru, Taman Nasional Way Kambas dan Yayasan Kiara (Konservasi Ekosistem Alam Nusantara) Owa Jawa, di Citalahab.
“Di sana ibu-ibunya dilatih untuk membuat ecoprint, jadi yang biasanya memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berburu hewan dilindungi di sana, jadi bisa dari kain-kain yang dihasilkan,” ungkapnya.
Konsep dan Produk Ecoprint diminati Turis Asing
Selain menjajakan produk berkualitas dari cetakan alam, Arae Ecoprint juga kini merambak ke wisata Workshop & Retreat yang ternyata diminati wisatawan mancanegara.
“Awalnya kami nekat, eh ternyata banyak diminati,” jelas co-founder Arae Ecoprint Masrur.
Wisatawan asing itu kini bisa menikmati layanan wisata Arae Ecoprint di Kampung Cibalai yang kini dimiliki mereka dari hasil menabung. Di lahan seluas 1 hektare itu wisatawan bisa menikmati pelbagai pengalaman, mulai dari mencetak kain berbahan dasar alami, hingga healing.
“Banyak dari mereka justru menikmati healing. Rata-rata mereka [Wisman] menginap 4-10 hari,” jelasnya.
Hampir seluruh pegawai Arae Ecoprint ini melibatkan anak asuh yang dibimbing Gingin. Mereka secara otodidak mengambil peran seperti pengelola keuangan hingga pemandu wisata.
“Mereka jadi belajar gimana handle orang asing, belajar bahasa hingga kebiasaan mereka,” jelasnya.
Sehingga, selain bisa mencetak sendiri kain dari daun-daun sesuai selera, para Wisman juga mendapat pengalaman tetreat yang berbeda.
“Alhamdulillah sekarang setiap bulan selalu ada yang menginap, banyak dari luar negeri, sampai sekarang masih terus komunikasi,” jelasnya.
Saat ini, pihaknya terus mengembangkan ekosistem usaha yang komprehensif mulai dari produk ecoprint hingga desa wisata. Hingga nantinya semakin banyak masyarakat yang terlibat dan mendapat manfaat dari aktivitasnya ini.
Berita ini merupakan bagian dari publikasi program Jelajah Pesona Jabar yang didukung oleh Bank Indonesia Perwaklan Jawa Barat, Bank BJB, dan JNE.