Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Beras Timpang, Jabar Masih Bergantung pada Indramayu

Kabupaten Indramayu kembali mencatatkan diri sebagai penghasil beras terbesar di Jawa Barat pada 2024.
Petani menjemur gabah hasil panen di Majalengka, Jawa Barat, Sabtu (5/4/2024). Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras mulai 3 April 2024 hingga 30 Juni 2024 dengan rincian HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang sebelumnya Rp5.000 per kilogram naik menjadi Rp6.000 per kilogram - JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.
Petani menjemur gabah hasil panen di Majalengka, Jawa Barat, Sabtu (5/4/2024). Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras mulai 3 April 2024 hingga 30 Juni 2024 dengan rincian HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang sebelumnya Rp5.000 per kilogram naik menjadi Rp6.000 per kilogram - JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.

Bisnis.com, CIREBON- Kabupaten Indramayu kembali mencatatkan diri sebagai penghasil beras terbesar di Jawa Barat pada 2024.

Dengan total produksi mencapai 808.100,81 ton, wilayah yang dikenal sebagai lumbung padi ini unggul jauh dari kabupaten lain di provinsi ini. 

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat menunjukkan dominasi Indramayu jauh di atas Karawang (601.465,49 ton) dan Subang (559.546,34 ton) yang berada di posisi kedua dan ketiga.

Kepala BPS Provinsi Jawa Barat, Darwis Sitorus, menilai tingginya produksi beras di Indramayu merupakan hasil dari konsistensi pengelolaan lahan pertanian, dukungan irigasi teknis, serta iklim yang mendukung intensifikasi panen.

“Indramayu memiliki karakteristik geografis dan sistem pertanian yang sangat mendukung untuk pertanian padi. Lahan sawahnya luas dan jaringan irigasinya relatif stabil, sehingga mampu mendukung panen hingga dua sampai tiga kali dalam setahun,” ujar Darwis, Selasa (20/5/2025).

Total produksi beras Jawa Barat tahun 2024 tercatat sebesar 4,98 juta ton. Dari jumlah tersebut, kontribusi Indramayu saja sudah mencakup 16,2 persen. Menurut Darwis, angka ini menunjukkan ketahanan pangan di Jawa Barat sangat bergantung pada beberapa daerah kunci.

“Kalau kita lihat, lebih dari 40 persen produksi beras di Jabar hanya disumbang oleh tiga kabupaten. Ini menjadi catatan penting karena berarti ketahanan pangan kita sangat rentan jika salah satu dari tiga daerah tersebut mengalami gangguan,” jelasnya.

Darwis juga mengungkapkan, meskipun beberapa wilayah seperti Cirebon (294.880,86 ton), Majalengka (279.550,82 ton), dan Garut (262.718,29 ton) turut masuk dalam sepuluh besar, namun secara keseluruhan distribusi produksi masih belum merata.

“Ketimpangan antarwilayah perlu menjadi perhatian. Daerah dengan potensi pertanian yang belum tergarap optimal harus didorong agar bisa meningkatkan produksinya. Misalnya Tasikmalaya dan Bekasi yang berada di peringkat 9 dan 10, produksinya masih di bawah 250 ribu ton,” ungkap Darwis.

BPS mencatat, sejumlah faktor mempengaruhi tingkat produksi padi di tiap kabupaten. Di antaranya adalah ketersediaan lahan, akses terhadap air irigasi, tingkat mekanisasi pertanian, hingga perubahan pola tanam akibat perubahan iklim.

“Pola tanam sudah mulai bergeser. Ada daerah yang dulu bisa panen tiga kali, sekarang hanya dua. Bahkan beberapa hanya sekali. Itu banyak dipengaruhi oleh iklim yang makin tidak menentu,” katanya.

Selain faktor alam, Darwis menyebut program-program pemerintah daerah dalam mendukung pertanian juga berperan besar. Kabupaten yang memiliki kebijakan pro-petani seperti subsidi benih, pelatihan pertanian modern, hingga kemudahan akses permodalan, cenderung menunjukkan kinerja lebih baik dalam produksi pangan.

Beberapa kabupaten seperti Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya disebut masih memiliki peluang besar untuk meningkatkan kontribusinya terhadap produksi beras provinsi. Namun tantangan utama adalah topografi wilayah dan pola kepemilikan lahan yang tersebar dalam skala kecil.

“Di daerah pegunungan seperti Garut dan Tasikmalaya, memang tidak bisa disamakan dengan Indramayu yang relatif datar dan luas. Tapi dengan inovasi teknologi pertanian, ini masih bisa dioptimalkan,” ujar Darwis.

Dalam jangka panjang, pentingnya membangun ketahanan pangan yang inklusif dan merata. Menurutnya, pemerintah provinsi maupun pusat perlu memperluas cakupan program intensifikasi pertanian ke luar daerah-daerah utama.

“Jika hanya bergantung pada segelintir kabupaten, risiko krisis pangan bisa meningkat saat terjadi bencana atau gangguan iklim di satu daerah. Kita harus mulai memperkuat daerah-daerah yang produksinya masih rendah tapi punya potensi,” tandasnya.

BPS juga mengimbau agar pemerintah daerah tidak hanya mengejar angka produksi, tetapi juga memperhatikan efisiensi dan keberlanjutan. Penggunaan pupuk organik, konservasi air, serta diversifikasi varietas padi menjadi langkah penting menghadapi tantangan perubahan iklim.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper