Bisnis.com, CIREBON - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyentil Bupati Cirebon Imron Rosyadi terkait persoalan jalan rusak yang kerap menuai kritik dari masyarakat. Dedi menegaskan jalan rusak di Cirebon merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten, bukan provinsi.
Namun dirinya yang justru disalahkan dan dicaci oleh publik, seolah menjadi “bapak tiri”, bukan “bapa aing”—sebutan akrab untuk pemimpin yang dianggap dekat dengan rakyat.
"Ada orang di Cirebon marah sama saya. Jalan goreng (rusak), katanya gubernurnya bukan bapa aing, tapi bapa tere," ujar dedi dalam Musrenbang Pemprov Jabar di Bale Jaya Dewata, Kota Cirebon, Rabu (7/5/2025).
Dedi menegaskan, ia baru menjabat gubernur selama dua bulan, namun sudah menerima segudang kritik seolah semua kerusakan dan ketidakberesan infrastruktur di Jawa Barat adalah kesalahannya.
Padahal, dalam sistem pemerintahan daerah, pengelolaan dan perbaikan jalan dibagi berdasarkan klasifikasi jalan, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
“Ketika dicek, jalannya jalan kabupaten. Kenapa gak ke bupatinya? Kan jadi aneh. Otokritik boleh, tapi harus logis,” katanya.
Baca Juga
Dalam pernyataannya, ia juga menyoroti bagaimana masyarakat cenderung memilih kambing hitam, meski urusan yang dipersoalkan tidak berada di bawah kendali pihak yang disalahkan.
Menurut Dedi, dirinya sangat terbuka terhadap kritik dan masukan dari masyarakat. Namun ia berharap kritik tersebut diarahkan secara tepat
Ia menantang publik untuk mengkritisi hal-hal yang menjadi tanggung jawab gubernur, bukan sekadar melempar tuduhan asal pada masalah yang semestinya diselesaikan kepala daerah di tingkat kabupaten.
"Perbanyak kritik pada saya soal yang memang jadi kewenangan gubernur. Kritik saya karena terlalu banyak kegiatan di Jakarta. Kritik saya karena terlalu banyak jalan-jalan ke luar negeri. Kritik saya kalau saya menghambur-hamburkan uang untuk perjalanan dinas," ujarnya.
Ia melanjutkan, lebih baik jika masyarakat mengawasi penggunaan anggaran gubernur untuk hal-hal yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Termasuk soal penginapan di hotel mewah atau pembelian baju dinas yang berlebihan.
Namun, jika permasalahannya soal jalan kabupaten yang rusak, maka yang lebih tepat disorot adalah bupatinya.
Dengan suara yang meninggi dan penuh nada emosional, Dedi juga mengingatkan gubernur bukan “tukang sapu” yang bisa menyapu bersih semua persoalan teknis hingga ke tingkat desa. Ia mengajak masyarakat untuk memahami struktur pemerintahan agar tidak salah sasaran dalam menyampaikan keluhan.
"Kenapa saya keras menghadapi? Karena saya ingin masyarakat lebih melek dan adil. Jangan semua-semuanya dilempar ke gubernur. Padahal yang tanggung jawab bupati atau walikota," katanya.
Ia juga menyinggung, banyak masalah sosial yang lebih mendesak untuk diperhatikan, seperti tawuran pelajar, sungai yang tercemar, hingga anak-anak muda yang kecanduan game online dan minuman keras. Namun masalah-masalah itu jarang diangkat oleh masyarakat sebagai kritik terhadap pemimpin.
“Anak-anak mabok, anak tidur jam 4 pagi karena main Mobile Legends tiap malam, itu gak dikritik. Tapi jalan rusak, yang bahkan bukan tanggung jawab gubernur, malah jadi sorotan utama,” ujarnya.
Sebagai gubernur, Dedi menyatakan siap membantu apabila pemerintah kabupaten mengajukan permohonan resmi dan menyertakan kebutuhan teknis yang jelas.
Namun ia menolak apabila seluruh beban perbaikan diserahkan begitu saja ke pemerintah provinsi, seolah bupati tidak memiliki tanggung jawab.
"Kalau butuh bantuan provinsi, ajukan proposal. Kita bantu. Tapi jangan semua disalahkan ke gubernur. Itu bukan cara yang bijak dalam membangun daerah," ujarnya tegas.