Bisnis.com, CIREBON - Upah minimum provinsi (UMP) Kabupaten Cirebon pada 2025 mengalami kenaikan sebesar 6,5%. Dengan kenaikan ini, upah minimum kota/kabupaten (UMK) Kabupaten Cirebon diprediksi meningkat dari Rp2.517.730 menjadi Rp2.681.382.
Kenaikan ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli pekerja, meskipun juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha terkait beban operasional yang lebih besar.
Meskipun kenaikan ini dianggap signifikan oleh sebagian pihak, kelompok buruh menyuarakan kekhawatiran mereka, terutama karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai tahun depan.
Kenaikan UMP ini disahkan setelah melalui sejumlah pembahasan antara pemerintah daerah, perwakilan buruh, dan pengusaha.
Pemerintah menyebut bahwa angka ini telah disesuaikan dengan perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, keputusan ini tidak sepenuhnya diterima dengan baik oleh buruh.
Siti Nurjanah, salah satu buruh pabrik tekstil di Kabupaten Cirebon, menyampaikan pendapatnya.
Baca Juga
“Bersyukur UMP naik. Tapi kalau dihitung-hitung, kenaikan ini seperti tidak ada artinya karena harga barang juga terus naik, apalagi dengan PPN yang akan menjadi 12% tahun depan. Biaya hidup akan semakin berat,” ujarnya saat ditemui di sela-sela aksi buruh yang digelar di depan kantor bupati beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, kenaikan UMP sebesar Rp163.652 tersebut tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Cirebon Acep Sobaruddin mengatakan kenaikan PPN akan semakin menekan daya beli masyarakat kecil. Menurutnya, beban hidup buruh sudah berat tanpa kebijakan tersebut, apalagi jika pajak konsumsi dinaikkan.
Menurutnya, mayoritas buruh di Kabupaten Cirebon sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan upah yang diterima.
"Upah Minimum Kabupaten (UMK) Cirebon tahun 2024 memang mengalami kenaikan, tetapi masih jauh dari mencukupi untuk hidup layak. Kenaikan PPN ini justru akan membuat harga barang-barang kebutuhan pokok semakin mahal,” kata Acep.
Ia menambahkan, PPN sebesar 12% akan berdampak pada hampir semua sektor, mulai dari makanan, bahan bakar, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya.
“Masyarakat kecil seperti kami yang tidak memiliki pendapatan besar akan sangat merasakan dampaknya. Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, pemerintah seperti tidak memikirkan nasib buruh dan rakyat kecil,” tegasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh SPN Kabupaten Cirebon, lebih dari 60% pengeluaran rumah tangga buruh dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, listrik, dan transportasi.
Dengan kenaikan tarif PPN, diperkirakan harga barang-barang ini akan melonjak, mengurangi daya beli buruh yang sudah terbatas.
“Kami sudah hidup pas-pasan. Kalau harga bahan makanan seperti beras, minyak goreng, dan sayuran naik karena PPN 12%, bagaimana kami bisa bertahan?” tanya seorang buruh pabrik garmen yang enggan disebutkan namanya.
Melalui SPN, buruh Kabupaten Cirebon menyerukan agar pemerintah membatalkan rencana kenaikan PPN tersebut. Mereka menuntut agar pemerintah lebih fokus pada upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan upah dan menekan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, SPN Kabupaten Cirebon juga mengusulkan agar pemerintah mencari alternatif sumber pendapatan negara yang tidak membebani masyarakat kecil. Menurut Acep, pengelolaan anggaran yang lebih efisien dan pengurangan pemborosan dalam belanja negara bisa menjadi solusi.
“Kami tidak hanya akan diam. Kami akan menyuarakan aspirasi kami dengan damai, tetapi tegas. Buruh adalah tulang punggung perekonomian, dan kami berharap pemerintah mengerti itu,” kata Acep.
Aksi ini juga akan melibatkan masyarakat umum yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Menurut Acep, solidaritas dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menunjukkan bahwa penolakan terhadap kenaikan PPN bukan hanya kepentingan buruh, tetapi juga kepentingan masyarakat luas.