Bisnis.com, JAKARTA - Pelarangan peredaran kantong plastik diyakini tidak akan menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia. Kebijakan tersebut justru akan mengganggu terciptanya circular economy di mana masa depan penanggulangan sampah adalah melalui daur ulang.
Asosiasi Industri Aromatika, Olefin, dan Plastik (Inaplas) menilai, pengelolaan sampah yang dimulai dari hulu atau di lingkup rumah tangga dapat menciptakan nilai ekonomi. Hanya saja, konsumen rumah tangga masih belum melihat hal ini sebagai nilai ekonomi.
"Saat ini industri daur ulang plastik hanya jalan 80% kapasitasnya, padahal sampah plastik masih banyak, ini disebabkan karena sampah kita belum terpilah. Biaya sortir berkisar 50% dari cost recycle," kata Sekjen Inaplas Fajar Budiyono dalam keterangan resmi, Selasa (30/4/2019).
Menurutnya, plastik sangat bermanfaat bagi kehidupan dan dianggap menjadi masalah ketika sudah menjadi sampah. Maka, yang perlu dibenahi adalah pengelolaan sampah, bukan dengan melarang produk plastik.
Kata dia, pelaku industri plastik pada dasarnya mendukung penuh pengelolaan sampah dan meminimalisasi jumlah sampah dengan meningkatkan daur ulang berbagai sampah.
"Tapi yang penting perubahan perilaku masyarakat yang tidak lagi melihat plastik sebagai sampah, tapi sebagai sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Kemudian menerapkan prinsip zero waste to landfill dengan memilah sampah di rumah, daur ulang dan composting, dan lainnya," paparnya.
Dia menjelaskan, beberapa daerah telah menerapkan inovasi pemanfaatan plastik salah satunya adalah Kulonprogo. Sampah kantong plastik diolah menjadi bahan campuran aspal untuk proyek rehabilitasi jalan penghubung Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Borobudur di ruas Nanggulan-Sentolo.
Aspal campuran sampah plastik terbukti mampu meningkatkan kualitas jalan yang lebih kuat dan tidak mudah rusak. Fajar tidak sependapat jika dikatakan produk plastik dianggap mencemarkan lingkungan.
Apalagi, konsumsi plastik di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lainnya. "Per kapita konsumsi plastik per tahun, Indonesia 23 kg, Singapore 60 kg, Thailand 40 kg, Malaysia 50 kg, dan Jepang 100 kg," katanya.
Koordinator Kemitraan Kota Hijau Nirwono Joga menambahkan, merujuk Perpres Nomor 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, semua pemangku kepentingan harus terlibat mengelola sampah.
Salah satunya, pemerintah perlu mengintervensi pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir, seperti pemilahan sampah mulai dari tingkat rumah tangga, RT/RW, kelurahan, kecamatan, dan kota/ kabupaten.
"Optimalisasikan pengolahan sampah organik menjadi kompos 100%, pemilahan sampah anorganik di bank sampah untuk didaur-ulang, digunakan ulang, atau diperbaiki untuk dijual kembali, hingga pengolahan residu sampah B3," katanya.
Pengelolaan sampah organik saat ini sedang menjadi tren baru yakni dengan menggunakan budi daya lalat tentara hitam atau black soldier fly (BSF) dengan nama latin Hermetia illucens yang telah dikembangkan oleh warga di Desa Sokawera, Banyumas, Jawa Tengah
Dusun Larangan telah memantapkan menjadi “Kampung Laler”, karena nantinya seluruh warga akan membudidayakan lalat BSF tersebut. BSF tak sekadar mampu meningkatkan pendapatan warga, tetapi juga sebagai salah satu solusi untuk menangani sampah.