Bisnis.com, BANDUNG-Pelaku industri tekstil menginginkan adanya lokalisasi bagi material kimia yang dibutuhkan seperti zat pewarna maupun lapisan bahan.
“Hingga saat ini lebih dari 90% pasokan kimia tekstil itu diimpor dari India dan China,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia ( API) Jabar Jusak Sulaiman di sela acara The 7th Asia International Dye Industry, Pigments and Textile Chemicals Exhibition di aula Trans Luxury Hotel, Bandung, Rabu (1/11/2017).
Saat ini, material kimia memakan porsi 10-20% dari ongkos produksi tekstil. “Produsen kimia itu yang masih tidak ada di Indonesia, sehingga pemerintah perlu mengundang perusahaan dari luar untuk mendirikan pabrik di sini, tidak bisa impor terus,” ungkap Jusak.
Sejalan dengan itu, API bekerjasama dengan China Dyestuff Industry Association, China Dyeing and Printing Association and China Council for the Promotion of International Trade, Shanghai Sub-Council, dan Basic Chemicals, Cosmetics & Dyes Export Promotion Council (CHEMEXCIL) giat menyelenggarakan pameran tahunan kimia tekstil. Pada tahun ini, pameran digelar di Bandung mulai 1-3 November yang mengadirkan lebih dari 130 peserta dari tujuh negara.
Kegiatan tahunan itu merupakan bagian Interdye Asia yang telah sukses menggelar pameran di India, Turki, Indonesia dan Vietnam. Interdye Asia juga telah menjadi platform komunikasi yang ideal bagi para pelaku bisnis pewarna tekstil, juga perusahaan yang bergerak di bidang kimia tekstil lainnya.
Pada tahun ini, API memperkirakan nilai ekspor barang tekstil akan mencapai US$12,9 miliar. Kinerja itu tumbuh 3% dibandingkan US$12,3 miliar pada tahun lalu.
Salah satu pendongkrak nilai ekspor adalah sentra pertumbuhan industri tekstil di Jawa Tengah. Pada tahun ini, hasil produksi dari kawasan Jateng telah menopang pertumbuhan ekspor.
Selain itu, terdapat peluang besar bagi pelakon industri tekstil di pasar luar negeri. Salah satunya, kata Ade, adalah perundingan kesepakatan Comprhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara pemerintah dan Uni Eropa.