Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta ini mendatangi kantor Tempo untuk mengklarifikasi berita bahwa ia menerima suap pengadaan alat penyimpan listrik (UPS), Rabu, 10 Juni 2015.
Sehari sebelumnya, Abraham Lunggana menyuruh lima utusan datang ke Tempo guna mengklarifikasi berita tersebut.
Tersangka kasus ini, mantan Kepala Seksi Sarana Pendidikan Menengah Jakarta Barat Alex Usman sudah menceritakan aliran uang suap pengadaan 49 UPS senilai Rp330 miliar pada 2004 kepada polisi.
Para penerima suap adalah anggota Dewan periode 2009-2014. Abraham Lunggana alias Lulung waktu itu menjadi Koordinator Komisi Pendidikan, yang mengusulkan pengadaan tersebut kepada pemerintah.
Ide pengadaan berasal dari Harry Lo, pengusaha penyuplai UPS itu, karena banyak sekolah kerap diputus setrumnya lantaran telat membayar langganan ke PLN. Ia diduga memberi suap 7% dari nilai proyek melalui Alex yang dibagikan oleh utusan-utusan anggota Dewan.
“Saya tak kenal Alex Usman,” kata Lulung, yang datang ditemani 10 politikus Partai Persatuan Pembangunan. Cerita soal permainan korupsi UPS, ia meminta agar tak ditulis.
Benarkah ada anak buah Anda yang mengambil suap dari Alex Usman?
Saya panggil Riano, asisten saya. Saya tanya apakah informasi tersebut benar? Dia jawab tak kenal Alex Usman. Ya sudah, saya tidak konfirmasi lagi.
Anda sendiri kenal Alex Usman?
Saya tidak kenal Alex Usman, Alex Usman tidak kenal Lulung. Saya bersumpah demi Al-Quran, tak kenal dia. Jika saya bohong, cabut nyawa saya. Saya tak pernah bertemu dia, tak tahu bacotnya, idungnya, nafasnya, pandangan matanya.
Jadi Anda tak terlibat korupsi UPS?
Tanya polisi. Kalau saya ngomong, saya tidak terlibat. Polisi juga tanya, mana mungkin Haji Lulung tak tahu. Saya jawab, emang tak tahu, mau diapain? Saya tak terima nama saya disebut dalam skema aliran uang suap oleh Tempo. Saya punya anak-istri. Jika saya terlibat korupsi UPS, saya berani bersumpah, saya mati sekeluarga. Kubur hidup-hidup saya.
Sebenarnya bagaimana pengadaan UPS itu?
Awalnya kan laporan Ahok ke KPK soal dana siluman Rp 12,1 triliun. KPK mengembalikan dokumen itu, lalu Ahok mencari ke Komisi E, komisi saya, ketemu UPS ini. UPS ditanyakan ke saya ketika kami berhadapan di Kementerian Dalam Negeri. Saya lagi emosi, Pak Ahok emosi, saya keluar.
Faktanya, polisi menemukan kerugian Rp 50 miliar proyek itu…
Saya di-bully karena menjadi saksi. Saya disebut terseret UPS, Haji Lulung calon tersangka, segala macam. Saya sampaikan kepada istri dan anak-anak, tanya ke kepala dinas apakah mereka pernah dipanggil Lulung? Satu pun tidak pernah saya panggil. Barangkali saya satu-satunya orang di Dewan, dari 106 anggota, yang terus-menerus menjadi sasaran media. Rasanya, tak mau baca koran. Saya juga dituduh begal anggaran oleh Ahok. Lalu kami introspeksi. Ahok telah melakukan fitnah serius terhadap kami. Karena itu, kami ajukan hak angket.
Apa hasil hak angket?
Banyak temuan. Tanggal 14 Januari 2015 e-budgeting dibuka dan ditutup 20 Januari. Pembahasan Rancangan APBD itu 21-23 Januari, sehingga Ahok tak bisa input e-budgeting. Dia panik, lalu pake jurus mabuk, karena banyak makan anggur, dengan muncul tuduhan Rp 12,1 triliun uang siluman itu. Saya sudah cek ada surat dari Sekretaris Daerah yang membenarkan e-budgeting dibuka 14 Januari dan ditutup 20 Januari. Artinya benar, Ahok tak bisa input anggaran pada 20-23 Januari. Surat itu menjadi fakta.
Kami juga diskusikan dengan Presiden. Saya minta beliau tanya kepada Ahok apa uang Rp 12,1 triliun itu? Jawabannya ringan sekali, bahwa itu sudah selesai. Bagi saya, itu tidak selesai, itu fitnah. Tapi kami sadar, kami melawan kekuasaan, bahkan pengacara saya ditangkap dengan kasus tahun 2006.
Gubernur Jakarta bilang bahwa ada usulan yang dimasukkan tanpa pembahasan…
Waktu di Kementerian Dalam Negeri, Ahok minta kepala dinas berdiri untuk menjelaskan dia telah melarang tak memasukkan usulan yang belum dibahas. Omongannya bener, tapi dia bunuh diri. Mana ada sih yang bukan pembahasan dimasukkan, tidak ada.