SOLO--Banyak hal yang sulit dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekurangan fisik. Namun, bagi Simon Wheatcroft, seorang penyandang tuna netran asal Inggris, kekurangan fisik itu bisa ditaklukan dalam sebuah lomba lari maraton.
Simon Wheatcroft berhasil menaklukkan trek maraton sejauh empat negara bagian AS dari Boston hingga New York atau sekitar 220 mil (354 km). Pria asal Doncaster, Inggris, ini berhasil mengikuti lari maraton tersebut selama 9 hari.
Ia mengaku tidak merasa khawatir atau pun takut mengikuti acara yang di helat oleh TCS New York City Marathon ini. Menurut Simon, berlari adalah satu-satunya aktifitas yang bisa ia lakukan dengan sempurna meski ia tak bisa melihat. Simon yang telah kehilangan penglihatannya sejak usia 17 tahun ini percaya dirinya dianugerahi sepasang kaki yang kuat sehingga ia mampu melakukan segala hal yang bisa dilakukan oleh orang normal.
Sejak kecil Simon telah mengalami gangguan penglihatan dan semakin hari kemampuan melihatnya semakin menurun. Dokter mengklaim ia menderita retinitis pigmentosa. Di usianya yang ke-32 tahun, ia sama sekali tidak bisa melihat lagi. Tetapi, hal ini tidak menghentikan dirinya untuk terus berlari. Bahkan dengan kondisinya itu, Simon selalu menempati posisi pertama dalam lari maraton yang sering ia ikuti.
“Sebelum saya menjadi buta, saya tidak pernah mengikuti lomba lari maraton apa pun,” kata Simon seperti di kutip dari thedailybeast.com, Minggu (2/10/2014).
Ketika mencapai titik bosan dan frustasi dengan keterbatasannya, Simon memutuskan untuk menantang dirinya sendiri, apakah ia masih bisa berlari atau tidak. “Waktu mencoba berlari saya merasa menjadi orang yang lebih mandiri dan bebas. Selama ini saya merasa banyak hal yang tidak bisa saya lakukan sendiri. Sehingga harus dibantu orang lain. Tapi dengan berlari, saya merasa bebas,” kata Simon.
Tujuh bulan setelah ia mencoba berlari dengan kondisi matanya yang tidak dapat melihat, Simon langsung percaya diri mengikuti sebuah lomba lari maraton. Bukan lomba lari maraton biasa, ia dengan nekatnya menantang dirinya sendiri untuk mengikuti lomba lari ultramaraton. Hebatnya dalam perlombaan tersebut, Simon berhasil menaklukan trek sejauh 83 mil atau sekitar 133 km.
“Meski saya buta, saya tidak merasa kesulitan menaklukan trek maraton itu. Saya hanya perlu melangkahkan kaki sesuai irama saja. Saya ini sama saja seperti orang normal lainnya,” tutur Simon.
Untuk menaklukan trek yang begitu jauh dan tidak mudah ini, Simon menggunakan sebuah aplikasi elektronik yang disebut RunKeeper. Aplikasi ini mampu menganalisa jarak dan trek yang akan ditempuh. Simon menuturkan, saat berlatih ia bisa merasakan setiap langkah yang diambilnya, dan secara bersamaan ia menghafalkan jalur lari maraton agar ia bisa berlari dengan baik di perlombaan nantinya. Namun, Simon hanya mampu menghafal jalan sejauh 4 km saja, selebihnya ia bergantung pada aplikasi canggih yang menuntunnya hingga garis finis.
Simon berlatih dengan keras selama 5-6 jam sehari dalam jangka waktu 15 minggu demi menaklukan trek dari kota Boston sampai ke New York ini. Selama perjalanan, ia kerap menulis pesan di akun Twitternya. Ia selalu meng-update jalur-jalur yang akan dilaluinya, dan berharap ada penduduk lokal yang datang dan menunjukan arah padanya.
Bagi Simon berlari bukan hanya sekedar menggerakan badan dan kaki dengan bebas atau hanya sekedar untuk mendapatkan posisi juara pertama. Lebih dari itu, berlari bagi Simon adalah sebuah petualangan besar. Selama petualangan itu, ia bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat. Ia juga senang dapat mengenal banyak orang baru, sehingga dia bisa bebas berbagi cerita dengan orang-orang yang tak sengaja ia temui di perjalanan.
“Jujur, saya melakukan hal ini bukan karena ingin membuat orang lain terinspirasi dengan aksi saya. Saya hanya ingin bertemu dengan banyak orang dan berbagi momen kebersamaan yang hangat dengan mereka,” ujar Simon. Ia selalu senang jika ada seseorang yang menemaninya selama perjalanan. Simon juga mengaku bahwa ia ingin mengenal lebih banyak orang lagi dalam petualangan panjangnya tersebut.