Bisnis-jabar.com, BANDUNG--Setiap pengusaha pasti memulainya dengan mimpi, baik sekadar untuk mencapai kemapanan perekonomian maupun cita-cita ideal ingin menekan angka pengangguran. Namun, seorang enterpreneur harus diuji terlebih dulu, apakah mampu bertahan dalam jatuh bangun, atau mudah menyerah sehingga mengakhiri cita-cita tersebut begitu saja. Tantangan ini sudah terbayangkan oleh Nana Mulyana saat memutuskan untuk terjun menjadi seorang enterpreneur. Berawal pada 1995, Nana Mulyana mencoba peruntungan pertama pada industri garmen dengan membuat sebuah konvensi. Usahanya ini melibatkan 60 orang karyawan. Pada masa perintisan itu, Nana dihadapkan pada ketatnya persaingan di bisnis konveksi baik kalangan IKM maupun industri yang mayoritas berebut pasar di Pasar Mangga 2, dan Tanah Abang Jakarta. Selain itu, persaingan juga semakin ketat dari segala perkulakan yang meramaikan industri ini. Kondisi itu ternyata menciutkan usaha Nana yang hanya menjadi pengusaha daerah. “Persaingan harga sudah saling hantam. Jadi saya angkat tangan saja dengan bisnis konveksi ini,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini. Tidak ingin menyerah begitu saja, Nana mencoba peruntungan lain yang juga masih berhubungan dengan garmen. Dengan percaya diri dan pengharapan yang baru, Nana mencoba merubah bisnis konveksinya menjadi jasa maklun, meskipun harus bersaing dengan bisnis serupa milik orang tuanya yang sudah lebih dulu berkembang. Sekali lagi, strateginya itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Bahkan, puluhan mesih jahitnya terpaksa harus dijual untuk menyambung kehidupan, yang lambat laum membuatnya bangkrut. “Saya sampai menjual seluruh aset untuk makan keluarga sehari-hari.” Patah arang terhadap dunia bisnis, Nana berusaha memulai kembali semuanya dari nol dengan mencari pekerjaan kantoran. Lika-liku dunia pencari pekerja akhirnya mengantarkan Nana pada perusahaan Philips yang mau menerimanya. Dengan pekerjaan itu, pelan-pelan kehidupan Nana kembali naik. Memiliki gaji dan insentif cukup pada masa itu, dan bisa membeli rumah sendiri. Pekerjaan itu membuat Nana mendapatkan pengalaman baru mengenai bagaimana mengelola perusahaan yang lebih profesional, membuat sistem bisnis yang kuat, serta mengatur karyawan. Namun, Nana tidak lama bekerja di perusahaan itu. Dia kembali memilih untuk usaha sendiri dengan membuka toko elektronik pada akhir 1997. “Meskipun ada perasaan khawatir karena bagaimana pun juga kehidupan saya waktu itu bisa dibilang cukup. Akan tetapi, saya lebih memilih keluar dan menciptakan usaha yang baru,” ujarnya. Hanya bertahan beberapa bulan, pada tahun 1998 Nana dihadapkan pada krisis moneter menerpa Indonesia sehingga membuat dirinya harus gulung tikar, dan menjual rumah akibat utang yang mulai menumpuk. Bisnis yang hancur kesekian kalinya ini membuat Nana dilematis. Pilihan kembali untuk menjadi pekerja dianggap bukan solusi, meskipun sempat menikmati menjadi karyawan pada sebuah perusahaan besar. Nana menjelajahi setiap tempat di Bandung untuk mencari suatu peluang usaha baru. Dirinya melihat peluang usaha dari pembuat etalase aluminium dengan harga jualnya yang cukup tinggi. Nana butuh waktu untuk berproses agar kali ini bisnisnya tidak akan jatuh pada keterpurukan seperti bisnis sebelumnya. Lantas Nana pun mencoba datang ke Jakarta dan belajar bersama pamannya yang sudah lebih dulu berkecimpung pada bisnis tersebut [aluminium]. Dengan modal Rp7 juta dari hasil penjualan mobil yang dia miliki pada tahun 1998, Nana mencoba membidik usaha perajin aluminium dengan nama PT Nuansa Aluminium. ”Jika diperhatikan hampir semua rumah terdapat aluminium. Baik sebagai bahan baku utama rumah, alat dapur, hingga aksesori rumah tangga lainnya,” katanya. Saat memulai usahanya, Nana hanya merekrut seorang karyawan yang sudah ahli dalam bidang pembuatan berbagai perlengkapan rumah dari bahan aluminium. Waktu itu dia hanya mengharapkan pembeli datang sendiri ke tokonya, tetapi setelah dikaji pemasaran seperti itu kurang efektif. Muncul ide untuk memanfaatkan iklan di koran, meskipun awalnya mencantumkan nomor telepon warung telepon (wartel), dan nomor telepon kontrakannya untuk pemesanan barang. Strategi itu, berhasil menggaet sejumlah pemesan sampai bisnisnya berkembang dan dapat memasang jaringan telepon sendiri. Nuansa aluminium dapat menjual 10 unit etalase alumunium dalam sehari. “Memang harus jemput bola dan iklan kolom di koran menjadi satu solusi pemasaran yang saya gunakan untuk memenangkan persaingan,” ujarnya. Pada 2000, Nana berusaha merintis jaringan penjualan hingga ke pelosok daerah di Jawa Barat bahkan ke luar Jawa Barat dan berhasil membuka delapan kantor cabang antara lain di Cirebon, Banjar, dan Tasikmalaya. Kini, dirinya sudah mengembangkan sayap bisnisnya dengan mengembangkan sayap menjadi produsen baja ringan untuk material bangunan yang memberdayakan 400 karyawa. Bahkan Nana kerap mendorong karyawannya untuk mandiri. Tak heran dia pun sudah memiliki beberapa mitra usaha yang rata-rata dikelola mantan karyawannya menjadi kompetitor dengan 32 lokasi usaha yang tersebar di seluruh wilayah Jabar. “Kompetitor tersebut dianggap menjadi back up yang berperan cukup penting terhadap perusahaan dan mereka tidak akan berpaling ke yang lain karena mitra terdekat.” (Adi Ginanjar Maulana/Ria Indhryani)
Nana Mulyana: Keluar dari Zona Nyaman
Bisnis-jabar.com, BANDUNG--Setiap pengusaha pasti memulainya dengan mimpi, baik sekadar untuk mencapai kemapanan perekonomian maupun cita-cita ideal ingin menekan angka pengangguran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
4 hari yang lalu
OJK Gandeng FSS Korea Tingkatkan Pengawasan Sektor Keuangan
1 hari yang lalu