Bisnis.com, SUMEDANG - Merosotnya angka ekspor produk tekstil, dominasi produk impor di pasar domestik dan perang Rusia-Ukraina menjadi masalah komplek dunia industri tekstil tanah air.
"Kita sekarang masuk awan gelap," kata Koordinator Hubungan Industri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Andrew Purnama saat berbicara di hadapan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, di PT Kahatex, Kabupaten Sumedang, Rabu (16/11/2022).
Kondisi ini, kata Andrew, membuat pengusaha tekstil 'batuk-batuk'. Stok produksi menumpuk di gudang-gudang tak terjual, dermaga sulit diakses dan serbuan produk impor bekas yang kian meresahkan, mengancam perut ratusan ribu pekerja pabrik.
"Kondisi ini menyebabkan produk tekstil dalam negeri tidak ke mana-mana, imbasnya perusahaan-perusahaan tekstil di Indonesia mengalami overstok," tutur Adrew.
Langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun pengurangan jam kerja menjadi langkah terakhir yang dipilih banyak pengusaha untuk menyelamatkan bisnisnya yang diambang sunset akibat kondisi komplek ini.
"Ini sudah terjadi, data hasil survei kami dari 1 November 2022 hingga hari ini, 16 November 2022, dari 233 perusahaan, sebanyak 149 perusahaan di antaranya telah melakukan pengurangan jumlah karyawan. Jadi, dalam 16 hari ini saja, sudah ada 85.951 karyawan se-Indonesia yang dirumahkan oleh perusahaannya. Untuk di Jabar sendiri, pengurangannya sudah ada 37.000 karyawan," sebut Andrew.
Dengan data tersebut, ancaman PHK sebenarnya bukan isapan jempol belaka. Dari jumlah tersebut memang ada yang memang hanya sementara waktu, dan ada pula yang berlanjut dengan pemutusan kontrak kerja.
"Jadi ancaman PHK itu, saat ini memang nyata adanya, seperti yang telah disampaikan oleh rekan-rekan buruh tekstil kita di Indonesia," sebut Andrew.
Kondisi saat ini, dinilai Andrew sulit diprediksi lantaran menyangkut politik global. Sehingga ia tidak meyakini waktu pasti industri tekstil di Indonesia bisa kembali pulih.
"Bagi kami, resesi itu sudah mulai terasa saat ini juga. Dan krisis saat ini tidak bisa diprediksi kapan akan membaik, seperti sebelum-sebelumnya. Kalau sebelumnya, kita bisa prediksi berapa lama pasar akan melambat, misal dalam 6 bulan ke depan, tapi setelah 6 bulan pasar kembali bergairah. Nah untuk krisis global sekarang ini, kita tidak bisa memprediksinya," ujar Andrew.
Namun, Andrew menyatakan kondisi saat ini tidak serta merta harus disikapi dengan kepanikan. Dibutuhkan ketenangan untuk mengatasi masalah ini bak mengurai benang kusut.
"Kondisi saat ini tidak harus membuat kita panik, tapi tetap waspada. Kita harus tetap tenang, asalkan, pemerintah cepat turun tangan. Salah satu caranya, yaitu mengeluarkan regulasi terkait pasar lokal, yaitu pasar lokal itu ya untuk perusahaan lokal, sehingga perusahaan tekstil kita bisa tetap survive di masa-masa sulit sekarang ini," tutur Andrew.
Jika pasar domestik bisa dibuat sehat, kata Andrew, maka kerugian akibat tertutupnya keran ekspor bisa tersubstitusi dengan pasar lokal.
"Selain itu, kami memohon, pemerintah dapat segera menekan impor, terutama banjir impor ilegal pakaian bekas. Ini kami minta pemerintah untuk segera menangani hal tersebut. Kami juga sudah berusaha meminta ke Kementerian," sebut Andrew.
Menurutnya, produk bekas impor yang membanjiri pasar domestik merupakan kondisi memprihatinkan. Selain merupakan aktivitas ilegal, juga melayukan industri tekstil yang saat ini terseok-seok.
"Impor ilegal barang bekas ini sangat melukai kita. Kita sudah dipukul pandemi masih bisa bertahan, sekarang menghadapi impor ilegal ini sangat kewalahan. Untuk itu, kami berharap pemerintah dapat segera melakukan pengendalian impor dan membuat regulasi pasar lokal untuk perusahaan lokal itu. Kalau ini terjaga, mudah-mudahan kita bisa survive, kita sayang industri tekstil, karena kalau industri ini tidak ada, ini industri padat karya, jadi tidak bisa dibayangkan jika industri ini tidak bisa survive nantinya," kata Andrew. (K34)