Bisnis.com, CIREBON - Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengimbau warganya untuk mewaspadai praktik politisasi agama menjelang pemilu dan pilkada serentak 2024.
Imron yang juga merupakan Ketua DPC PDIP Kabupaten Cirebon mengatakan isu agama kerap dimainkan pada momen pesta demokrasi untuk menarik simpati dan suara dari masyarakat.
"Agama ini menjadi pintu masuk paling mulus untuk para politikus memecah belah masyarakat Kabupaten Cirebon," kata Imron saat ditemui pada acara seminar kewaspadaan dini Hotel Apita, Kabupaten Cirebon, Senin (26/9/2022).
Ditambahkan Imron, beberapa waktu terakhir ini di beberapa daerah Indonesia, termasuk Kabupaten Cirebon terjadi gesekan antara masyarakat dengan masyarakat ataupun pemerintah.
Dinamika tersebut, menurut Imron membuat masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelompok. "Gesekan ini terjadi mulai dari tingkat desa," katanya.
Untuk mengantisipasi adanya perpecahan jelang pemilu 2024, pemerintah daerah sudah menginstruksikan ratusan anggota bhabinkamtibmas dan babinsa agar melakukan pendeteksian dini.
Menurutnya, peran dari satuan TNI-Polri ini punya kekuatan untuk merekatkan kesatuan masyarakat di wilayah desa.
"Mereka sudah saya perintahkan untuk deteksi kalau upaya perpecahan kesatuan masyarakat. Saya percaya TNI-Polri yang ada di desa bisa meredam adanya keributan," kata Imron.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai gejala politik identitas akan kembali mewarnai dinamika politik 2024 semakin menggeliat.
Selama kurang lebih satu dekade, jagad politik nasional diguncang oleh politik identitas yang diperparah dengan propaganda ala post-truth.
Karyono menilai pelbagai narasi yang menggiring opini publik ke dalam inkubator politik SARA bertebaran di ruang publik.
Aroma politik identitas semakin menyengat belakangan ini ketika kelompok islam politik yang tergabung dalam Ijtima Ulama mulai menampakkan arah dukungan kepada sejumlah tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden 2024.
Klaim penilaian bahwa ada tokoh yang dekat dengan ulama dan diangggap mewakili aspirasi umat merupakan pandangan terlalu subyektif dan tak tepat.
"Klaim bahwa Sandiaga dianggap dekat ulama, pandangan tersebut terlalu subyektif, penilaiannya tidak berdasarkan realitas obyektif. Alasan dan pertimbangannya lebih menonjol kepentingan politik, kekuasan dan sentimen kelompok yang dibalut agama," kata Karyono.
Menurut Karyono, pengalaman pada pemilu presiden 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran masyarakat terutama umat islam agar tidak terjebak dalam tipu muslihat para petualang politik yang menggunakan agama sebagai jubah dan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan.
Faktanya, selama ini rakyat yang dirugikan, kerap menjadi korban dari konflik politik yang menggunakan isu SARA.
Di era post truth, dampak penggunaan isu SARA lebih berbahaya dari isu lainnya. Daya rusaknya lebih dahsyat membuat nilai-nilai toleransi dan kebhinnekaan tergerus, serta kohesi sosial merenggang.
"Tokoh politik lainnya yang memiliki hasrat maju sebagai capres cawapres harus bisa mengendalikan syahwat politik untuk tidak melakukan politisasi SARA hanya untuk kepentingan elektoral," kata Karyono.