Bisnis.com, BANDUNG — Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei nasional yang menunjukkan jumlah warga yang acuh pada vaksin masih terbilang tinggi.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi merilis hasil survei tersebut secara virtual Minggu (21/2/2021). Turut hadir Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan sejumlah narasumber lain.
Survei dilakukan secara by phone terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak dari sampel survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Survei ini memiliki margin of error sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Burhanudin menuturkan masih ada 41 persen responden yang tidak bersedia divaksin. Sementara yang bersedia hanya 15,8 persen. Adapun pengaruh vaksin terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga tak memberikan dampak signifikan.
"Dari kesediaan warga divaksin yang sangat bersedia 15,8 persen. Total 41 persen warga kurang bersedia atau tidak bersedia. Survei kami di bulan Desember yang kurang bersedia atau tidak bersedia 43 persen. Jadi turun hanya dua persen, efek Presiden Jokowi hanya dua persen menurunkan mereka yang awalnya tidak bersedia menjadi bersedia divaksin," katanya.
Dari total responden yang kurang atau tidak bersedia divaksin, 54,2 persen diantaranya punya alasan efek samping vaksin yang belum ditemukan atau tidak aman. Mayoritas kekhawatiran dirasakan oleh perempuan dengan entis non-Jawa.
"Jadi pemerintah harus menjelaskan bahwa vaksin itu tidak punya efek samping yang berbahaya," ungkap Burhan.
Selain itu, survei juga dilakukan berdasarkan basis Pemilihan Presiden 2019. Hasilnya, pemilih Prabowo-Sandi sedikit lebih khawatir terkait apakah vaksin punya efek samping daripada pendukung Jokowi-Ma'ruf.
"Ini temuan, artinya problem tentang vaksin bukan semata problem keshatan tapi politik, struktur sosial serta suku, agama, ras. Saya usulkan ada program vaksinasi dimana Pak Prabowo dan Pak Sandi berada di depan agar ramai-ramai menyukseskan vaksinasi karena datanya clear and clean. Lagipula keduanya sudah ada di pemerintahan,” tuturnya.
Kemudian, berdasarkan analisis multivariate disimpulkan, kesediaan menerima vaksin signifikan dipengaruhi oleh etnis, agama, pendidikan, ancaman Covid-19, dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin.
Lalu, kelompok etnis Jawa signifikan lebih tinggi kesediaannya menerima vaksin. Kelompok agama Islam signifikan lebih resisten terhadap vaksin.
Data lain juga menyimpulkan, semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi kesediaannya menerima vaksin. Semakin sering merasa takut tertular Covid-19 maka semakin tinggi kesediaannya menerima vaksin.
"Datanya konsisten, terbukti semakin rendah tingkat pendapatan semakin malas divaksin. Mengapa? Ini banyak jawabannya tapi bisa dihubungkan dengan variabel lain. Mereka yang percaya Covid hoaks umumnya kelas menengah bawah jadi bukan karena akses informasi saja. Kelas menengah bawah itu mungkin merasa sentuhan dengan isu Covid tak sebanyak kelas menengah atas," jelasnya.