Bisnis.com, BANDUNG—Kinerja harga saham Uber Technologies yang ternyata tidak begitu menggembirakan pasca penawaran umum perdana saham (IPO) pekan lalu menjadi sinyal yang kurang begitu baik bagi unicorn teknologi lainnya yang ingin menempuh langkah IPO.
Harga saham perusahaan layanan berbagi perjalanan tersebut dibuka di bawah harga IPO-nya, sehingga menurunkan valuasi perusahaan menjadi sekitar US$70 miliar segera setelah saham mereka mulai ditransaksikan di bursa New York, Jumat (10/5/2019) lalu.
Kurangnya antusiasme positif terhadap pencatatan saham perusahaan teknologi terbesar AS sejak Facebook pada tahun 2012 ini menunjukkan investor kini menjadi lebih pemilih. Bahkan, harga IPO Uber yang ditetapkan pada hari Kamis pekan lalu sangat jauh dari harapan.
Dengan harga sebesar US$45 per saham, valuasi Uber adalah sekitar US$75 miliar, lebih rendah dari targetnya sekitar US$82,4 miliar. Harga yang rendah diharapkan akan mencegah Uber mengalami hal yang sama seperti yang terjadi pada saingannya, Lyft Inc. yang harga sahamnya terjun bebas setelah IPO Maret lalu.
Seperti banyak IPO teknologi terbaru lainnya—tetapi tidak seperti Facebook yang menguntungkan—Uber mengandalkan kepercayaan investor bahwa suatu hari nanti perusahaan akan tumbuh cukup untuk melarikan diri dari banjir tinta merah saat ini.
Uber kehilangan sekitar US$ 1 miliar pada kuartal pertama tahun ini. IPO ini memberi Uber sekitar US$8 miliar tambahan modal untuk mendanai ekspansi. Sebelumnya, Uber sudah mengantongi pendanaan sekitar US$25 miliar dari 23 pendanaan swasta, menurut Crunchbase.
Kerugian perusahaan mungkin sudah mulai dibayangkan oleh beberapa investor, bersama dengan buruknya kinerja saingan kecilnya, yakni Lyft, yang sahamnya turun sekitar seperempat sejak IPO pada akhir Maret.
Namun, untuk lebih adil, tentu perlu menambahkan faktor peningkatan tensi perang dagang antara China dan Amerika dalam sepekan terakhir sehingga turut menekan kinerja pasar saham secara keseluruhan, tidak terkecuali saham Uber.
Lagi pula, saham Uber diperdagangkan kembali ke harga IPO-nya beberapa waktu setelah turun pada hari Jumat pekan lalu.
Akan tetapi, di saat investor merasa perlu lebih hati-hati di tengah kondisi pasar saat ini, tentu lebih sulit untuk menemukan pembeli bagi saham perusahaan yang membakar uang dengan sejarah perselisihan dengan regulator dan karyawan.
Uber hingga kini masih menggunakan strategi membakar uang untuk promosi. Pada 2017 lalu, Travis Kalanick, salah satu pendiri Uber Technologies Inc mengundurkan diri sebagai CEO di tengah serangkaian skandal yang menjeratnya.
Sebagai pengingat, saham Facebook juga tidak bekerja dengan baik dalam beberapa minggu setelah IPO pada 2012 lalu.
Namun, mengingat tidak adanya jalur yang jelas bagi Uber untuk mendapatkan keuntungan, debut Uber ini akan menimbulkan kecurigaan bahwa investor publik hanya digunakan sebagai jalan keluar (exit strategy) yang nyaman bagi investor yang terlibat dalam tahapan pendanaan swasta sebelumnya.
Perusahaan yang menguntungkan mungkin tidak perlu terlalu khawatir tentang bagaimana menemukan pasar untuk saham mereka.
Namun, perusahaan yang membutuhkan infus modal terus-menerus untuk tumbuh, seperti Uber dan juga kandidat IPO lainnya yakni layanan berbagi kantor WeWork, mungkin akan menerima tanggapan yang dingin dari investor.
Di Indonesia, sejumlah start-up teknologi, tidak terkecuali yang bergelar Unicorn, juga masih menggunakan strategi bakar uang. Kendati belum ada kejelasan terkait langkah mereka menuju IPO di Bursa Efek Indonesia, tetapi strategi bisnisnya yang serupa Uber patut menjadi perhatian calon investor.