Bisnis.com, BANDUNG - Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengaku tidak yakin bisnis angkutan publik berbasis aplikasi bisa bertahan lebih dari lima tahun. Terlebih apabila mereka gagal mempertahankan kualitas layanan dan performa dihadapan konsumennya.
Seperti diketahui, Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkitan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek tepatnya pasal 19 ayat 3 huruf f mengatur mengenai tarif.
Tarif batas bawah untuk wilayah I sebesar Rp3.500 dan batas atasnya sebesar Rp6.000, sedangkan untuk wilayah II tarif batas bawahnya sebesar Rp3.700 dan batas atasnya sebesar Rp6.500.
"Kalau tarifnya terlalu murah, nanti sopirnya dapat apa? sekarang pun saya tidak yakin dengan permasalahan yang sama bisa bertahan lima tahun. Karena bisnis mereka berbeda dengan yang angkutan resmi. Mereka tidak peduli mitranya mau mati atau kolaps terserah," katanya, kepada Bisnis, Senin (3/7/2017).
Menurutnya, bisnis transportasi online tidak lebih dari bisnis tipu-menipu. Diawalnya masyarakat tergiur tarif murah dan murah, tapi sopirnya tidak dapat apa-apa semisal ketika mobilnya rusak dan memerlukan biaya perawatan.
Belum lagi soal Standar Pelayanan Minimum (SPM) menyangkut keselamatan sopir dalam kondisi sehat. Pasalnya, tidak mungkin operator bisa mengetahui sopirnya dalam kondisi sehat karena mereka tidak pernah bertemu. Lainnya halnya apabila disediakan pool karena mereka sering bertemu.
"Taksi online mereka tahu nggak berapa jam sopir mereka bekerja, kan mereka tidak tahu. Makanya, kalau sopir resmi itu pasti ada sistemnya 2:1 atau 1:1. Karena sopir itu tidak bisa bekerja selama-lamanya," ucapnya.
Dengan tarif resmi bermakna dua hal diantaranya perhitungan tarif dengan memperhatikan BOK (Biaya Operasi Kendaraan) yang seharusnya mulai ada perubahan. Karena tarif resmi itu perhitungannya ada pool. Pool untuk tarif resmi itu memperhitungkannya sebagai beban. Padahal pool membutuhkan lahan yang mempunyai nilai investasi.
"Dengan demikian, yang resmi pun formulanya harus diganti. Apalagi di tengah kota. Dengan formula ini seharusnya Kementerian Perhubungan bisa menghitung ulang. Kemudian, kebutuhan taksi resmi di suatu kota itu seperti apa. Apakah sudah cukup atau kurang. Sementara demandnya sama sehingga menggangu yang resmi," ucapnya.
Padahal pemerintah itu fungsinya menjaga keberlangsungan usaha dan konsumen. Maka, perlunya formula tarif batas atas dan bawah agar konsumen tidak merugi dan batas bawah agar usahanya tetap berlangsung.
"Kalau mengganggu dosa loh kepala daerahnya. Kepala daerah bisa melarang. Kaya di Solo mereka tidak mau. Pemahaman itu tidak semua kepala daerah memahaminya," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
7 jam yang lalu
Kisi-Kisi untuk Pemegang Saham GOTO Soal Laju 2025
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
3 menit yang lalu
Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak Jabar Turun?
13 menit yang lalu
Kepala Dinas di Pemprov Jabar Ditugaskan Memantau Pilkada Serentak
2 hari yang lalu
Dekranasda Gelar Pameran Jendela Jawa Barat di Bali
25 menit yang lalu
Pilwalkot Bandung 2024: Farhan Akui Tenang dan Lega Usai Nyoblos
2 hari yang lalu
Hari Guru: Pemprov Jabar Prioritaskan Guru Non-ASN Jadi PPPK
41 menit yang lalu