Bisnis.com, BANDUNG -- Baru-baru ini penelitian terbaru mengungkapkan keajaiban dunia yang telah hilang ditemukan kembali setelah 131 tahun terkubur oleh erupsi vulkanik.
Dilansir The Guardian, pada tahun 1800-an, Danau Rotomahana menjadi daya tarik yang populer di kalangan wisatawan dunia karena dihiasi oleh teras travertine paling spektakuler di dunia, berwarna putih dan kemerahan yang tercipta dari endapan mineral mata air panas di dekatnya.
Pada masa itu, danau itu disebut-sebut termasuk ke dalam daftar delapan keajaiban dunia. Namun keajaiban itu hancur oleh letusan gunung berapi Tarawera di Selandia Baru pada tahun 1886.
Dua peneliti telah menunjukkan titik lokasi yang tepat di mana teras bertingkat berada, terlindung 10-15 meter di bawah permukaan, di bawah lapisan lumpur dan abu.
"Kami telah lakukan 2.500 jam penelitian dalam 12 bulan terakhir," kata salah satu tim, Rex Bunn dikutip Independent. Mereka menambahkan bahwa survei arkeologis masih harus dilakukan untuk menggali situs tersebut.
“Teras bertingkat tersebut menjadi daya pikat turis yang luar biasa di bagian selatan, sejumlah wisatawan dari Inggris, Eropa, dan Amerika rela melancong jauh-jauh datang ke tempat ini untuk menyaksikan tempat ini,” Ujar Bunn.
Namun belum ada studi survei yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, mengenai batas ketinggian dan garis panjangnya tempat ini. Sehingga peneliti mengandalkan kartografi untuk membantu kerja-kerja tim peneliti.
Bunn dan Dr Sascha Nolden percaya teras bertingkat tersebut tidak musnah atau tergeser ke bawah danau, seperti dinyatakan penelitian sebelumnya, namun terkubur oleh tepi danau.
"Kami yakin, sepuas kemampuan kami, kami telah mengidentifikasi lokasi teras. Kami lebih dekat dari siapa pun yang pernah berada dalam 130 tahun terakhir ini. " tambah Bunn.
Penemuan kembali itu semakin terbuka lebar setelah mereka menemukan buku catatan tentang keajaiban dunia yang hilang tersebut. Buku itu milik ahli geologi bernama Dr. Ferdinand von Hochstetter.
Catatan itu berisi survei-survei pulau tersebut yang dilakukan Ferdinand karena perintah pemerintah Selandia waktu itu yakni pada tahun 1859.
Pada tahun lalu sejumlah ilmuwan menyimpulkan mayoritas areal teras telah rusak parah oleh erupsi. Setelah menemukan buku harian tersebut, para peneliti menerjemahkan dan menafsirkan karyanya, dengan menggunakan berbagai metode geologi yang kompleks.
Hasilnya diterbitkan di Journal of the Royal Society of New Zealand yang isinya mereka percaya bahwa teras ditutupi oleh abu selama letusan dan tertutup setidaknya 10 meter di bawah permukaan tanah di samping danau.
Namun, Bunn percaya teras bertingkat itu mungkin masih dalam kondisi yang layak, dengan potensi kerusakan yang kecil, dan bisa dipulihkan seperti kondisi sebelumnya setelah proses penggalian.
Mereka juga mengatakan otoritas kesukuan Tuhourangi setempat mendukung usaha mereka dan mereka sekarang berusaha mengorganisir sebuah penggalian situs tersebut.
“Kami ingin menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan publik. Dan saya telah berhubungan dekat dengan pemilik lahan tua ini, pihak Tuhourangi Tribal, dan mereka sangat mendukung dan senang dengan hal tersebut,” ujarnya.