Bisnis.com, CIREBON - Pemerintah Kota Cirebon mulai menapaki jalur pertanian berkelanjutan dengan mengembangkan produksi beras ramah lingkungan.
Langkah ini dilakukan melalui kemitraan strategis antara kelompok tani lokal di Kelurahan Pegambiran dan petani dari Kabupaten Indramayu.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Cirebon Elmi Masruroh menyebut inovasi ini sebagai bentuk adaptasi awal menuju ekosistem pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan.
“Ini bukan sekadar proyek panen. Kita sedang membangun pola pikir baru dalam bercocok tanam. Bahwa di tengah kota, pertanian ramah lingkungan tetap bisa tumbuh,” kata Elmi, Rabu (23/7/2025).
Produksi beras tersebut dilakukan di lahan seluas sekitar 7 hektare di kawasan Pegambiran. Setelah panen, gabah dibawa ke Indramayu untuk digiling, kemudian hasil akhirnya dipasarkan melalui Gerakan Pangan Murah (GPM) yang digelar rutin oleh Pemkot.
Elmi menegaskan, kemitraan dengan petani Indramayu tak hanya sebatas teknis penggilingan. Mereka juga berbagi pengalaman dalam penggunaan pupuk organik, yang kini mulai diterapkan oleh petani di Cirebon.
Baca Juga
"Jenis pupuknya cukup beragam. Ada yang dari kompos, ada yang dari fermentasi bahan alami. Kita adaptasi sesuai kondisi tanah di Cirebon," ujarnya.
Langkah ini, menurutnya, membuktikan bahwa urban farming tidak sekadar tren musiman. Dari data yang dihimpun DKP3, saat ini Kota Cirebon memiliki sekitar 110 hektare sawah aktif, sedikit lebih luas dari catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebesar 93 hektare.
Dengan produktivitas rata-rata 5,2 hingga 5,3 ton gabah per hektare per musim, potensi hasil panen Kota Cirebon mencapai lebih dari 1.000 ton dalam setahun—jumlah yang cukup untuk berkontribusi pada ketahanan pangan lokal.
Bukan hanya soal produksi, upaya ini juga menyasar pergeseran pola konsumsi masyarakat. Melalui GPM, beras ramah lingkungan dipasarkan dengan harga terjangkau, sehingga masyarakat dapat mengakses pangan yang lebih sehat tanpa terbebani biaya tinggi.
“Yang kita kejar bukan sekadar hasil panen, tapi juga efek jangka panjang: tanah yang tetap subur, lingkungan yang terjaga, dan pola konsumsi masyarakat yang lebih bijak,” ucap Elmi.
Menurutnya, pertanian ramah lingkungan menjadi langkah logis dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan degradasi lahan. Di tengah keterbatasan ruang, pendekatan kolaboratif dan inovatif dianggap kunci keberlanjutan.
Pemkot Cirebon, lanjutnya, tidak akan berhenti pada pengembangan 7 hektare lahan. Rencana ekspansi dan pelatihan untuk petani lain tengah disusun, agar konsep ini bisa direplikasi di wilayah lain.
“Selama ini banyak yang pesimis soal masa depan pertanian di kota. Tapi fakta di Pegambiran membuktikan sebaliknya. Dengan pendekatan tepat, pertanian urban bisa eksis dan memberi nilai tambah,” tandas Elmi.