Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

320 Kilometer Jalan Rusak, Distribusi Hasil Panen di Garut Makin Terhambat

Ketimpangan pembangunan infrastruktur di Garut menyebabkan proses distribusi hasil panen petani semakin sulit dan biaya logistik terus membengkak.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, GARUT - Ratusan kilometer jalan di Kabupaten Garut masih dalam kondisi rusak hingga pertengahan 2025. Ketimpangan pembangunan infrastruktur ini menyebabkan proses distribusi hasil panen petani semakin sulit dan biaya logistik terus membengkak.

Data terbaru dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Garut yang termuat dalam Garut Dalam Angka 2025 menunjukkan, terdapat 320,72 kilometer jalan rusak di wilayah ini. Angka tersebut merupakan akumulasi dari kategori rusak sedang (106,71 km) dan rusak berat (214,01 km).

Kondisi ini melonjak drastis dibanding tahun 2023, yang mencatat total jalan rusak hanya 119,52 km. Artinya, dalam kurun satu tahun, kerusakan jalan meningkat lebih dari dua kali lipat, menandakan adanya permasalahan serius dalam aspek pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur jalan di kabupaten ini.

Dampak langsung dari buruknya kondisi jalan dirasakan oleh para petani, khususnya di wilayah-wilayah pelosok. Salah satu petani asal Kecamatan Cikajang, Isep Heri mengaku kesulitan mengangkut hasil panen dari kebun ke pasar tradisional terdekat.

“Kalau jalan rusak terus begini, kami yang rugi. Bawa hasil panen butuh waktu lebih lama. Kadang sampai dua kali lipat waktu normal. Ongkos angkut juga naik,” ujar Isep, Kamis 17/7/2025).

Menurut Isep, sebelumnya ongkos kirim hasil pertanian seperti ubi dan sayuran dari desanya ke Pasar Cikajang hanya sekitar Rp150 ribu per kendaraan pikap. 

Namun sejak jalan desa rusak akibat longsor dan tak kunjung diperbaiki, biaya meningkat jadi Rp250 ribu hingga Rp300 ribu karena kendaraan harus memutar jauh dan rawan kerusakan.

“Yang paling kasihan itu tengkulak kecil. Mereka terpaksa nambah ongkos, terus akhirnya harga beli ke petani ditekan. Kami makin merugi,” ungkapnya.

Data statistik juga menunjukkan adanya penurunan panjang jalan dalam kondisi baik dari tahun ke tahun. Jika pada 2023 jalan dengan kondisi baik mencapai 569,83 km, maka pada 2024 turun menjadi 541,945 km. Hal ini menandakan penambahan panjang jalan tidak dibarengi peningkatan kualitas jalan secara menyeluruh.

Sementara itu, jalan dalam kondisi sedang justru meningkat dari 139,65 km (2023) menjadi 159,57 km (2024), menandakan adanya degradasi kualitas dari jalan yang sebelumnya baik.

Total panjang jalan di Kabupaten Garut pada 2024 tercatat 1.022,235 km, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya 829 km. 

Namun, peningkatan ini tidak sepenuhnya berkorelasi dengan perbaikan kualitas jalan. Sebaliknya, justru menyisakan catatan serius karena sebagian besar tambahan panjang jalan masuk dalam kategori rusak.

Isep Heri dan petani lainnya mendesak agar pemerintah daerah serius memperhatikan kondisi jalan, terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan yang merupakan sentra pertanian. Mereka menilai pembangunan masih terlalu terpusat di daerah kota dan jalur utama kabupaten.

“Kami ini bukan minta jalan mulus seperti di kota. Minimal bisa dilalui dengan aman dan cepat oleh mobil pengangkut hasil panen. Jangan sampai kami terus rugi karena jalan,” ujarnya.

Menurut Isep, jalan di desanya sebagian masih berupa beton tua yang sudah retak dan berlubang, serta lapisan penetrasi makadam yang licin saat musim hujan. 

Ia menyebut, salah satu jalan utama sepanjang hampir lima kilometer menuju kebun kentang miliknya sudah bertahun-tahun tak tersentuh perbaikan.

Selain menyulitkan petani, kondisi jalan rusak juga berdampak pada sektor ekonomi lainnya di desa. Biaya distribusi logistik kebutuhan pokok ikut meningkat karena kendaraan harus melalui jalur alternatif yang lebih jauh dan menantang.

“Dulu toko sembako di kampung dapat kiriman rutin tiap tiga hari. Sekarang bisa seminggu sekali. Ongkos naik, harga barang di warung juga naik,” kata Isep.

Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan beban ganda bagi masyarakat desa: pendapatan dari hasil pertanian menurun, sementara biaya kebutuhan hidup sehari-hari justru meningkat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro