Bisnis.com, GARUT — Seluas 250 hektare lahan pertanian padi di Kabupaten Garut, Jawa Barat terancam tidak produktif lantaran adanya sedimentasi di aliran Sungai Cimanuk.
Penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Dinas Pertanian Garut Ria Andriani mengatakan bahwa ratusan hektare lahan sawah tersebut berada Desa Panembong Kecamatan Bayongbong dan Desa Mangkurakyat Kecamatan Cilawu.
Menurut Ria, air dari Sungai Cimanuk tidak mengalir ke saluran irigasi. Akibatnya, beberapa hektare lahan di kedua wilayah tidak mampu ditanami padi maupun komoditas pangan lainnya.
"Tanaman yang sudah ada tidak teraliri berpengaruh terhadap penurunan produktivitas terutama padi, luasan areal sawah berkurang drastis beralih ke jagung dan tanaman hortikultura," kata Ria, Senin (13/5/2024).
Pihaknya berharap, pemerintah berwenang mampu menyelesaikan permasalahan sedimentasi di Sungai Cimanuk. Keberadaan Sungai Cimanuk, kata Ria, merupakan salah satu faktor penting dalam sektor pertanian di Kabupaten Garut.
"Kalau Pemerintah Kabupaten Garut tidak segera melakukan gerakan. lahan sawah di sepanjang aliran Sungai Cimanuk dari mulai kecamatan Cilawu, sebagian Garut Kota dan Karangpawitan terancam gagal panen," katanya.
Baca Juga
Penurunan kinerja produksi padi pada 2022—2023 terjadi juga di Kabupaten Garut. Petani mengkhawatirkan kondisi itu terus berlanjut hingga akhir 2024.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi di Garut mengalami penurunan. Pada 2022, luas lahan pertanian padi mencapai 75.951 hektare. Namun hingga akhir 2023, lahan tersebut mengalami penyusutan hingga ke angka 75.648 hektare.
Keluhan Petani di Garut
Herdiansyah, salah seorang petani di Garut, menuturkan bahwa selama 2023 hanya mampu memproduksi padi sebanyak 510 kilogram. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan produksi 10 tahun lalu yang mampu menembus angka 1 ton.
Menurut Herdiansyah, penurunan tersebut diperkuat dengan mundurnya masa tanam padi dari Januari ke Maret 2024. Cuaca buruk yang terjadi selama awal tahun dan rendahnya alokasi pupuk subsidi menjadi pemicu.
"Waktu dahulu, dalam satu hektare bisa produksi sampai 3 ton. Sekarang lahan satu hektare cuma dapat sembilan kuintal saja," kata Herdiansyah.
Herdiansyah pun meminta kepada pemerintah daerah memperkuat jaminan untuk petani di tengah kondisi sulit. Jaminan tersebut, lanjutnya, melindungi petani dari kerugian akibat gagal panen, bencana alam, serangan organisme pengganggu pertumbuhan, hingga dampak perubahan iklim.
Menurut Herdiasnyah, setiap tahunnya selalu dihadapkan dengan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi.
Alokasi dari pemerintah diklaim tidak sampai pada petani. Minimnya realisasi alokasi kebutuhan subsidi pupuk kepada para petani dianggap menjadi salah satu kelemahan administrasi yang dibangun oleh pemerintah pusat.
"Saya pernah menemukan pupuk-pupuk subsidi yang dijual non subsidi. Pupuknya dijual kepada petani-petani besar. Modusnya selalu begitu setiap tahunnya," kata Herdiansyah.
Minimnya suplai pupuk bersubsidi berkaitan dengan membengkaknya ongkos produksi. Sementara, nilai jual produksi gabah diprediksi bakal anjlok pada musim panen nanti.