Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Baju Bekas Impor Percepat Industri Garmen Sunset

API mencatat salah satu penyebab penurunan permintaan produk garmen di Indonesia adalah maraknya penjualan baju bekas atau bisnis thrift.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, BANDUNG - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat salah satu penyebab penurunan permintaan produk garmen di Indonesia adalah maraknya penjualan baju bekas atau bisnis thrift.

Hal tersebut disampaikan Penasihat API Ade Sudrajat, kepada Bisnis, Rabu (2/11/2022).

Ade yang juga merupakan pengusaha garmen ini mengaku tekanan terhadap industri garmen terjadi di tingkat lokal hingga global. Salah satu tekanan lokal adalah maraknya penjualan barang bekas di pasaran.

"Di sisi lain, banjirnya barang-barang impor khususnya barang bekas yang tidak mendorong UMKM tidak bisa hidup, sangat marak dan sudah mulai menjadi tren, karena banyak shop semacam butik barang bekas, barang bekas ini dipilih merek tertentu dan dijual di butik, bahkan menjadi barang terhormat di masyarakat," kata dia.

Padahal menurut Ade, secara hukum, penjualan barang bekas impor ini menyalahi aturan namun tidak pernah ada tindakan serius dari pemerintah untuk memberantas penjualan barang ilegal ini.

"Padahal faktanya barang bekas dilarang masuk ke Indonesia, sejak tahun 2000-an tapi masyarakat tidak berdaya, sehingga UMKM yamg biasa menjadi tulang punggung saat krisis sekarang mereka kesulitan," imbuhnya.

Selain itu, tekanan global pun kata Ade sudah sangat terasa di tengah meroketnya inflasi, krisis pangan dan energi di negara-negara Amerika dan Eropa.

"Kondisi global lebih banyak disebabkan permintaan yang anjlok sari Eropa dan Amerika karena negara di Amerika dan Eropa alami inflasi, ditambah krisis energi dan pangan di Eropa, ini semua mengerucut pada mereka muter belanja masyarakatnya itu yang sifatnya primer, dan untuk saat ini yang primer adalah belanja energi karena memasuki musim dingin, mereka menahan pembelian akhirnya banyak supermarket yang tutup," jelasnya.

Alhasil, Ade mencatat setidaknya ada 500 ribu pekerja di Jawa Barat yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam 4-5 bulan terakhir.

"Kalau Jabar saya kira hampir 500 ribuan [Pekerja di PHK], kalau nasional dulu itu jumlah pekerja 3,7 juta, sekarang mungkin tinggal 2 juta lebih, dalam kurun waktu 4-5 bulan ini," jelasnya.

Untuk itu, ia menawarkan solusi kepada pemerintah yang bisa dilakukan agar bisa menyelamatkan industri garmen tanah air sekaligus menekan angka PHK.

Pertama, ia meminta Pemerintah untuk membekukan PPN bahan baku garmen seperti kain dan benang sebagai stimulus agar bisa bersaing dengan harga barang preloved yang kini belum bisa diatasi pemerintah.

"Solusi yang kami tawarkan adalah, pertama adalah membekukan PPN paling sedikit 6 bulan - 1 tahun, sehingga PPN pembelian kain dan benang semua dihilangkan, sehingga lebih murah, sehingga bisa bersaing dengan baju bekas, seperti halnya pernah dilakukan ke industri otomotif," katanya.

Ke dua adalah dengan meminta OJK agar bisa memperpanjang restrukturisasi paling tidak hingga akhir 2023 kepada industri garmen agar bisa memperpanjang nafas menghadapi 2023 yang disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai kiamat.

"Jadi kalau Sri Mulyani memperingatkan 2023 akan terjadi kiamat, kita sudah kiamat dari awal," jelasnya.

Ke tiga, ia meminta pemerintah agar bisa memberikan bantuan langsung berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat agar daya beli masyarakat bisa lebih tinggi lagi.

"Bagaimana pun juga UMK pemerintah tidak akan bisa bertahan lagi di angka yang sama, tapi karena inflasi di kita juga naik, jadi sebagai kompensasi kepada pengusaha harus ada," jelasnya.

Sementara itu, hingga awal November 2022 ini, ia menyebut penurunan ekspor industri garmen yang berorientasi ekspor ke negara Eropa dan Amerika mencapai 60-70 persen.

"Tergantung orintasi perusahaan, mungkin kalau perusahaannya orientasinya ke Jepang 100 persen mungkin tidak terganggu, tapi kalau orientasi amerika eropa pasti menurun 60-70 persen," jelasnya. (K34)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dea Andriyawan
Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper