Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Mau kemana komputasi awan?

Oleh Algooth Putranto

Oleh Algooth Putranto Wartawan Bisnis Indonesia Awal 2011, industri telekomunikasi kita geger oleh kabar bocornya data pelanggan selular. Indikasinya, maraknya pesan pendek yang menawarkan kartu kredit maupun kredit tanpa agunan (KTA). Operator dan bank sigap membantah. Konon, dari 180 juta pelanggan, 25 juta di antaranya jadi konsumsi yang diperjualbelikan! Repotnya hingga kini bagaimana data itu bisa beredar bebas tak kunjung jelas. Soal data bocor yang terdigitalisasi adalah resiko seiring semakin terkoneksinya struktur teknologi informasi. Payahnya, isu ini terlupakan seiring maraknya perbincangan tentang cloud computing alias komputasi awan. Cloud computing sudah cukup lama hadir, contohnya BlackBerry, yang melejit meski pelit investasi. Faktanya, seluruh aplikasi Internet, baik e-mail, BlackBerry Messenger, Yahoo Messenger, atau Gtalk dijalankan pusat data RIM di Kanada. Secara sederhana, cloud computing adalah layanan teknologi informasi yang bisa dimanfaatkan atau diakses oleh pelanggannya melalui jaringan Internet. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk menyandang gelar sebagai cloud computing a.l. layanan bersifat On Demand alias pengguna dapat berlangganan hanya yang dia butuhkan saja, dan membayar hanya untuk yang mereka gunakan saja. Layanan bersifat elastis, artinya pengguna bisa menambah atau mengurangi jenis dan kapasitas layanan yang dia inginkan kapan saja dan sistem selalu bisa mengakomodasi perubahan tersebut. Layanan sepenuhnya dikelola oleh penyedia (provider), yang dibutuhkan oleh pengguna hanyalah komputer personal/notebook ditambah koneksi Internet. Dengan konsep ini, maka semakin banyak orang yang bisa memiliki akses dan memanfaatkan sumber daya tersebut, karena tidak harus melakukan investasi besar. Pada tataran global, gagasan cloud computing bukan barang baru sejak dewa Intelijensia Buatan (AI) asal MIT, John McCarthy pada era 1960-an meramal: “Suatu hari nanti, komputasi akan menjadi infrastruktur publik, seperti listrik dan telepon!” Namun sistem komputasi awan baru muncul sekitar tahun 1995, saat Larry Ellison, pendiri Oracle, memunculkan ide Network Computing, di mana user tidak memerlukan berbagai software karena sistem operasi dan berbagai software, dijejalkan ke dalam PC desktop mereka. PC Desktop bisa digantikan oleh sebuah terminal yang langsung terhubung dengan sebuah server yang menyediakan lingkungan yang berisi berbagai kebutuhan software yang siap diakses oleh pengguna. Sejumlah vendor marak menawarkan sistem networking tersebut a.l. Sun Microsystem dan Novell Netware yang menawarkan Network Computing client sebagai pengganti desktop. Namun, gaung Network Computing ini sayup saja. Maklum, dipicu kualitas jaringan komputer yang payah alhasil akses terlalu lelet. Akibatnya, anjloknya harga PC membuat PC Desktop jadi pilihan utama. Perkembangan selanjutnya adalah kehadiran konsep Application Service Provider (ASP) di akhir era 1990-a seiring meningkatnya kualitas jaringan computer yang memungkinkan akses aplikasi lebih singkat. Hal ini ditangkap sebagai peluang oleh sejumlah pemilik pusat data untuk menawarkan fasilitasnya sebagai tempat ‘hosting’ aplikasi yang dapat diakses oleh pelanggan melalui jaringan computer sehingga pelanggan tidak perlu investasi di perangkat data center. Hanya saja, ASP ini masih bersifat pribadi alias khusus untuk satu pelanggan tertentu, sementara aplikasi yang disediakan waktu itu umumnya masih bersifat client-server. Meski demikian, jargon cloud computing tiba-tiba bergulir bak bola salju. Dimulai di 2005, muncul raksasa Amazon.com lewat Amazon EC2 (Elastic Compute Cloud), Google dengan Google App Engine dan IBM meluncurkan Blue Cloud Initiative. Perebutan menguasai awan pun terjadi. Pabrikan Dell, bahkan pernah mencoba mempatenkan istilah "cloud computing", namun ditolak oleh otoritas paten Paman Sam. Minim pemain lokal Laiknya Piala Dunia sepakbola, perebutan kapling awan ini begitu ingar bingar di luar negeri. Tidak demikian dengan Tanah Air. Kita cenderung jadi penonton, pemain yang serius bermain di area ini irit. Saya mencatat, hanya PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), lewat dua layanan aplikasi berbasis Software as a Service melalui anak usahanya, Sigma Cipta Caraka (Telkomsigma) untuk layanan aplikasi core banking bagi bank kecil-menengah. Kemudian bekerja sama dengan IBM Indonesia dan mitra bisnisnya, PT Codephile, Telkom menawarkan layanan e-Office on Demand untuk kebutuhan korespondensi di dalam suatu perusahaan atau organisasi. Ada juga IT Operation Management Services, Data Recovery Services, dan Data Center Infrastructure, dengan jumlah klien saat ini sudah mencapai ratusan perusahaan, khususnya dalam industri keuangan. Bahkan, dengar punya dengar, Telkomsigma yang sangat mengandalkan jaringan induknya juga akan menginvestasikan hingga Rp300 miliar untuk membangun pusat data baru. Regulasi di Indonesia yang mewajibkan keberadaan datacenter di Indonesia bagi pemain aplikasi asing seperti Google, Yahoo, atau BlackBerry seharusnya memberikan peluang bagi provider cloud computing lokal untuk bisa mengembangkan pasa domestiknya. Dari sisi jenis layanan tersendiri, cloud computing, terbagi dalam tiga jenis layanan a.l. Software as a Service (SaaS), Platform as a Service (PaaS) dan Infrastructure as a Service (IaaS). Sementara dari sifat jangkauan layanan, terbagi menjadi Public Cloud, Private Cloud dan Hybrid Cloud. Sepinya pemain dalam negeri terhadap cloud computing ini, mungkin disebabkan beberapa faktor a.l. penetrasi infrastruktur Internet yang masih terbatas dan tingginya investasi yang dibutuhkan menyediakan layanan ini karena harus merupakan kombinasi antara infrastruktur jaringan, hardware dan software sekaligus. Namun, cloud computing tidak lama lagi akan menjadi realita dan susah untuk dihindari, sehingga memaksa para profesional teknologi informatika untuk cepat mengadaptasi teknologi ini. Sesuai hokum Moore, teknologi akan membuat cloud computing nantinya—cepat atau pun lambat--akan mencapai pada tingkat investasi dalam bingkai cloud service yang cepat dan mudah sehingga menjadi tuntutan. Jadi pertanyaan dimana peranan pemerintah dalam menentukan regulasi yang tepat, terutama pada kewajiban penempatan server aplikasi asing di dalam negeri untuk menumbuhkan provider lokal. Namun yang paling penting, kesiapan keamanan agar informasi penting milik saya dan Anda, tidak bocor kemana-mana lagi. Bukan rahasia lagi, ini yang repot di negeri ini. ([email protected])


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Newswire

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper