Bisnis.com, BANDUNG -- Pelaku usaha tekstil di Jawa Barat merasa kondisi saat ini menjadi yang paling sulit yang pernah dialami.
Pasalnya, produk jadi impor yang membanjiri pasar domestik dijual dengan harga di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP) serta minimnya permintaan ekspor.
Hal ini dirasakan langsung oleh PT Sipatex, perusahaan tekstil terbesar di Majalaya, Kabupaten Bandung.
Direktur Operasional PT Sipatex David Leonardi mengatakan sejak ia mengenal dunia usaha tekstil, kondisi ini memang yang terparah ia rasakan. Ia merasa sektor tekstil seakan terjepit.
"Selama sejarah ini mungkin bisa dibilang kondisi saat ini itu kondisi yang paling terparah. Kita itu merasa bingung apa yang harus kita lakukan karena masalahnya adalah Kita tuh tidak punya demand," ungkap dia kepada Bisnis, Kamis (14/11/2024).
Ia menyoroti soal produk impor yang membanjiri market domestik. Ia menilai dalam tiga tahun ini, produk tekstil jadi ini baik yang legal maupun yang ilegal seakan menenggelamkan produksi industri lokal.
Baca Juga
"Kita berharap itu yang namanya impor itu harus dipilah-pilah gitu ya. Mungkin contoh yang boleh diimpor itu mungkin barang-barang yang memang tidak diproduksi di dalam negeri," jelasnya.
Ia menyontohkan, Harga jual kaos polos akan sangat mudah ditemukan di market place manapun dengan Harga mulai dari Rp15.000 hingga Rp20.000 per pcs. Sedangkan menurutnya, nominal itu jauh dari angka HPP industri maupun UMKM tekstil lokal yang beroperasi saat ini.
"[Harga] Itu bahkan untuk bahan [kain, benang] saja, belum ongkos jahit," jelas dia.
David yang juga menjabat Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, bercerita bahwa banyak juga pelaku usaha tekstil yang berorientasi ekspor saat ini yang kesulitan untuk mendapat permintaan dari negara-negara tujuannya.
"Geopolitik kan belum selesai-selesai ya, jadi permintaan juga tidak ada," jelasnya.
Nahasnya, dengan kondisi ini, seharusnya pasar domestik bisa menjadi alternatif usaha untuk mempertahankan usahanya. Namun, mereka juga harus babak belur dengan kondisi market yang sangat tidak kompetitif.
"Alhasil yang menjadi korban kan pekerjanya, kita harus adjust dengan pengurangan tenaga kerja karena itu adalah fix cost kan," jelasnya.
Selain itu, saat ini juga rata-rata utilisasi pabrik-pabrik tekstil di Jawa Barat berada di Bawah 50%. Sehingga banyak di antaranya harus mengurangi tenaga kerja.
"Sedangkan kita harus mempertahankan tenaga kerja kan sulit. Orang yang mesen juga nggak ada," jelasnya.
Ia meminta pemerintah untuk serius dalam mengatasi kondisi ini. Pasalnya, selain untuk menjaga eksistensi sektor padat karya ini, juga untuk menjaga iklim ketenagakerjaan yang kondusif.
"Saya pribadi optimis kondisi ini tidak akan berlangsung selamanya, jelasnya.
Sementara itu General Manager Human Resources and Managemen PT Pan Brothers Tbk Nurdin Setiawan mengatakan, memang saat ini dibutuhkan pelbagai instrumen kebijakan untuk memitigasi kondisi dunia tekstil.
"Yang pasti harus ada harmonisasi antar kementerian, sehingga aturannya akan sejalan," jelasnya.
Pasalnya, sektor tekstil ini berkaitan dengan banyak sektor, mulai dari perindustrian, perdagangan, Pendidikan, energi, hingga instrumen keuangan.
Pada intinya, sektor industri saat ini sangat perlu untuk dilindungi dengan cara menguatkan Hambatan non-tarif.
Setelah barang impor bisa dihambat pergerakannya di market domestik, baru pemerintah bisa melakukan pelbagai upaya untuk menstimulasi pertumbuhan sektor industri.
"Kan dengan adanya Permendag 8/2024 ini barang impor menjadi lebih mulus masuk ke pasar domestik," jelasnya.
Selanjutnya pemerintah bisa memberikan juga instrumen kebijakan untuk memberikan insentif dari pajak hingga energi. Karena dengan pemberlakukan itu, maka ia meyakini industri akan lebih cepat take-off seminimal mungkin bisa bersaing di pasar domestik.
"Saya masih optimis ini akan bisa Kembali take-off, karena kan kalau orang bilang kondisi ini sun set, maka pasti akan ada sun rise," kelakarnya.