Bisnis.com, BANDUNG -- Dampak penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 akan sangat terasa bagi iklim usaha di Jawa Barat.
Peraturan ini dinilai lebih berpihak pada importir umum daripada mengedepankan upaya negara untuk meningkatkan industri TPT (tekstil dan produk tekstil) domestik.
Ekonom dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menilai penerapan Permendag 8/2024 ini akan berdampak sistematis terhadap perekonomian Jawa Barat. Mulai dari risiko terjadi kembali Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal hingga meningkatnya angka kemiskinan di Jawa Barat.
"Ekonomi Jawa Barat itu 42% disumbang oleh industri tekstil produk tekstil," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (4/6/2024).
Sehingga dengan aturan ini, akan membuat sektor tekstil dan produk tekstil di Jawa Barat semakin terseok. Permendag 8/2024 ini bakal membuat Indonesia kebanjiran produk garmen atau tekstil yang sudah jadi.
Sebelumnya, importasi kategori produk garmen dan tekstil atau dikenal sebagai finish product ini dikontrol oleh regulasi dari Kementerian Perindustrian, Permenperin no 5 tahun 2024. Sehingga, barang TPT yang masuk bisa disesuaikan dengan kemampuan produksi dalam negeri dan hal ini sudah dipatuhi oleh industri tekstil.
Baca Juga
Dengan berlakunya Permendag 8/2024 ini bak memberikan karpet merah bagi importir namun membuat industri domestik yang menyerap banyak tenaga kerja lokal kian berdarah-darah.
Risikonya kata dia akan mengarah pada meningkatnya PHK yang muaranya pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
"Ini harus direvisi, dan dilakukan multisektoral, karena ini tidak hanya soal perdagangan saja, tapi harus diperhatikan efek untuk tenaga kerja, devisa, hingga risiko peningkatan angka kemiskinan," jelasnya.
Ia membenarkan, memang sebelumnya orientasi pelaku industri tekstil dan produk tekstil adalah untuk eskpor. Hanya saja dinamika politik global menyendat kinerja ekspor ke banyak negara tujuan.
Upaya shifting pelaku industri untuk bertahan adalah dengan menyasar pasar domestik. Namun, hal ini kembali terganjal karena harus bersaing dengan barang impor yang sulit untuk diimbangi.
"Apa lagi untuk pelaku UMKM, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi Permendag ini," jelasnya.
Permendag 8/2024 kata dia bukan satu-satunya tantangan berat pelaku industri tanah air, sulitnya perizinan hingga beban biaya dari program pemerintah yang dibebankan kepada mereka membuat biaya produksi tidak berbanding lurus dengan produktivitas.
"Segera dievaluasi dari permendag itu, dan harus ada komunikasi yang bagus dari hulu dan hilir," jelasnya.