Bisnis.com, BANDUNG -- Kenaikan harga beras di pasaran dinilai HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) sebagai buah dari kegagalan pemerintah dalam melakukan mitigasi dan perencanaan pangan secara sistematis.
Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan masalah kenaikan harga beras yang terjadi hampir di sepanjang 2023 ini menunjukkan bahwa niat pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional tidak berbanding lurus dengan kebijakan politik. Sehingga terkesan, pemerintah melakukan pembiaran dan menjadikan impor sebagai solusi.
"Kenaikan harga beras ini kan pasti ada penyebabnya, jadi jangan dilihat hari ini, lihat beberapa bulan yang lalu, artinya ada kebijakan terhadap pengendalian harga yang relatif lemah, pengendalian harganya jadi seolah dibiarkan terus merangkak naik, dan tidak pernah ada solusi yang bisa mengerem melambungnya harga beras itu," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (13/9/2023).
Menurut Entang, musim kemarau bukan pertama kalinya di Indonesia. Sehingga hal ini tidak boleh menjadi kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi ketersediaan beras sebagai kebutuhan pokok masyarakat.
"Jadi sebetulnya, kalau sekarang harga beras seolah tidak terkendali, itu keterlambatan pemerintah dalam membuat antisipasi kondisi semacam itu yang harusnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah sudah mulai menerapkan pendekatan early warning. Sekarang pemerintah masih senang menjadi pemadam kebakaran," ungkapnya.
Ada beberapa hal yang menurut Entang bisa menjadi langkah strategis agar masalah ini tidak terulang setiap tahunnya. Pertama, pemerintah harus serius dalam memungsikan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai lembaga yang konsen dalam menjaga ketersediaan pangan sesuai dengan Perpres 66 Tahun 2021.
Baca Juga
"Nah, Bapanas ini kan sudah masuk tahun ke-3. Tapi kenapa Bapanas masih belum maksimal. saya tahu jawabannya karena anggaran yang diberikan tidak besar, hanya sekitar Rp441 miliar. Nah buat apa anggaran sebesar itu, untuk menangani Indonesia yang terdiri dari 38 provinsi dan 562 kota/kabupaten ini," tuturnya.
Jika saja Bapanas diberikan anggaran yang sepadan, maka Bapanas juga nantinya bisa dituntut untuk membuat rencana besar lengkap dengan peta jalannya untuk mewujudkan kemandirian pangan baik secara jangka pendek, menengah hingga jangka panjang.
"Jadi harusnya kalau memang ada itikad ke arah itu, perbesar anggaran untuk Bapanas," jelasnya.
Ke dua, ia juga menilai harus ada keseriusan dari pemerintah dalam mewujudkan diversifikasi pangan agar menjadi alternatif pangan masyarakat saat ketersediaan bahan pangan terganggu karena masalah cuaca.
"Sebetulnya banyak jenis bahan pangan yang kandungan gizinya sama kualitasnya tidak kalah dengan beras, kita punya pangan lokal," jelasnya.
Namun lagi-lagi kata Entang, langkah dalam mewujudkan diversifikasi menciptakan pangan pokok ini dibutuhkan politik anggaran yang memadai. Sehingga riset hingga penyediaan bahan pangan ini bisa dilakukan secara baik.
"Jadi menurut saya tinggal ada keseriusan pemerintah, mau tidak menciptakan bahan pangan lokal ini punya standar gizi standar vitamin yang sama dengan beras ini kan butuh modal," jelasnya.
Jika saja pemerintah tidak serius dalam hal ini, maka ia menilai kemandirian pangan hanya akan menjadi slogan hingga pangan benar-benar akan menjadi permasalahan akut di negeri gemah ripah loh jinawi.
"Jangan hanya jadi kemauan politik saja, tapi tindakan politiknya tidak ditopang anggaran," tutupnya.