Bisnis.com, PURWAKARTA - PT East West Seed Indonesia (Ewindo) mengembangkan benih sayuran yang diklaim memiliki keunggulan tahan terhadap serangan penyakit tanaman yang biasa timbul akibat cuaca ekstrem.
Menurut Managing Director Ewindo Glenn Pardede, kondisi cuaca ekstrim sangat berpotensi menimbulkan wabah penyakit bagi tanaman khususnya sayuran. Sebagai produsen benih, saat ini jajarannya sedang berupaya untuk terus memperkuat produksi benih unggul sayuran.
"Tentu ini menjadi keprihatinan kami. Jangan sampai, cuaca buruk ini berdampak pada penurunan produksi petani sayur di sejumlah wilayah," ujar Glenn dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).
Glenn menjelaskan, jenis virus yang menyerang tanaman semakin banyak akibat cuaca ekstrem seperti sekarang ini. Sehingga, ini menjadi tantangan bagi pemulia tanaman di perusahaannya untuk terus mengembangkan benih unggul agar produksi petani sayur tidak mengalami gangguan.
Dia pun berpendapat, persoalan cuaca ekstrem ini juga diperparah dengan penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak bijak di kalangan petani. Sehingga, produksi sayuran bukannya meningkat tetapi malah menjadikan tanah rusak.
Padahal, lanjut dia, dalam bertani itu seharusnya mempertimbangkan kelangsungan produksi secara berkesinambungan (sustainable).
"Tantangan yang dihadapi petani di negara tropis seperti di Indonesia, memang lebih tinggi dibandingkan dengan petani di negara-negara Eropa. Siklus iklim dingin di Eropa bisa mematikan virus," jelas Glenn.
Adapun salah satu upaya jajarannya untuk memperkuat produksi benih unggul ini, yakni dengan untuk terus mengedepankan riset dan pengembangan benih sayuran tropis melalui pusat pemuliaan yang berlokasi di Kabupaten Purwakarta.
Sebagai contoh, pada tahun ini Ewindo yang merupakan produsen benih sayuran hibrida terbesar di Indonesia berinvestasi hingga Rp60 miliar untuk membangun pusat riset dan pengembangan baru.
"Targetnya produksi benih Ewindo harus tahan terhadap penyakit dan punya potensi produksi yang tinggi. Sebagai contoh produksi bisa ditingkatkan dari semula dua kilogram sekali panen menjadi empat kilogram," tambah dia.
Glenn berharap program pengembangan benih sayuran ini hendaknya juga dibarengi dengan penyerapan pasar untuk membantu petani.
Persoalannya, konsumsi sayuran di Indonesia masih rendah baru 40 kilogram per kapita per tahun atau masih separuh di bawah rekomendasi Organisasi Badan Pangan dan Pertanian (FAO) yakni 80 kilogram per kapita per tahun.
Beberapa waktu lalu, kata dia, Guru Besar IPB University Bungaran Saragih pernah mengatakan, seharusnya harga sayur terbentuk berdasarkan permintaan dan pasokan di pasar seperti halnya komoditi lainnya.
Namun kenyataannya, masyarakat biasanya membeli sayur bukan karena ada keinginan untuk membeli jenis tertentu. Namun setelah sampai di pasar mereka melihat yang jenisnya lebih baik barulah memutuskan untuk membeli jenis itu.
"Padahal jenisnya banyak ada tomat, bayam, caisim, pakcoi, sawi, paria, kacang panjang, timun. Tapi karena yang dilihatnya tomat paling bagus maka yang dibeli tomat," kata Glenn.
Ditambah banyak dari petani sayur yang belum teredukasi dengan baik untuk membaca pasar berdasarkan permintaan. Masih banyak petani sayur yang fokus pada produk tertentu padahal kondisi di pasar sudah jenuh (pemainnya sudah banyak).