Bisnis.com, BANDUNG - Pakaian rajut yang dulunya identik dengan orang sakit, lanjut usia, atau hanya dipakai di musim dingin, sekarang telah beralih menjadi tren pakaian keseharian.
Mulai dari ciput, kerudung, konektor masker, sweater, cardigan, rok, sampai kaus kaki sudah menjadi produk industri kreatif rajut.
Melihat peluang ini, para perajut di Kampoeng Radjoet Binong Jati Bandung pun membuat produk mereka menjadi lebih variatif. Perlahan tapi pasti, mereka mulai bertumbuh. Namun, di awal pandemi menyerang, Kampoeng Radjoet sempat goyah.
Koordinator Kampoeng Radjoet, Eka Rahmat Jaya membagikan kisah para perajut Binong Jati yang bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Ditemui di rumah produksinya, Eka menceritakan bagaimana perjuangan para perajut di tengah pandemi Covid-19.
Sebagai generasi ketiga yang mewarisi usaha rajut, Eka menyampaikan, sejak tahun 1970-an tempat ini bernama Sentra Rajut.
Namun, rebranding jadi Kampoeng Radjoet pada tahun 2014. Terhitung ada 400 perajut yang bertahan hidup di sini. Saat itu, satu perajut memiliki 10-20 karyawan. Jadi, ada sekitar 4.000 tenaga kerja yang diserap.
"Perkembangan rajut di masa pandemi memang awal sempat turun. Apalagi ada transformasi digitalisasi ya sejak pandemi, itu terasa banget. Banyak yang kesulitan juga untuk menyesuaikan, terutama dari kalangan yang sudah senior-senior seangkatan bapak saya," ujar Eka.
Dulu, para perajut berjualan kaki lima atau dengan menitipkan melalui jejaring mereka di Pasar Baru dan Tanah Abang. Namun, kini pilihannya hanya ada dua, terus bergerak dan berubah menyesuaikan zaman, atau tetap bertahan dengan cara lama, tapi berujung gulung tikar.
"Pas pandemi melonjak, pasar-pasar ini kan pada tutup ya. Kita harus putar otak, akhirnya dicobalah beralih ke digital. Memang sulit, tapi lama-lama jadi bisa baca polanya, yang penting main di konten dan branding," akunya.
"Dari jualan online, usaha saya sendiri saja semasa pandemi minimal Rp1 miliar per bulan. Kalau Kampoeng Radjoet ini bisa lebih berkali lipat karena kita upload juga lewat marketplace," imbuh Eka.
Bahkan, Eka mengaku, jika dibandingkan dengan sentra usaha lainnya, Kampoeng Radjoet malah kebanjiran pesanan di masa pandemi. Apalagi sekarang pakaian rajut sudah menjadi fesyen sehari-hari.
Di Ramadan ini, Kampoeng Radjoet Binong Jati juga mengalami kenaikan penjualan. Sejak terjun ke dunia digital, dalam satu tahun trafficnya bisa tiga kali mengalami kenaikan.
Dulu, 90 persen pemasukan dari offline, 10 persen dari online. Namun, kini sebaliknya, online menjadi ceruk utama mesin-mesin di Kampoeng Radjoet tetap hidup.
"Terutama di Ramadan ya, itu pasti. Khususnya di pakaian kasual dan hijab yang biasanya pembeliannya naik. Para reseller saya dari TKI dan TKW di Singapura dan Malaysia juga sering minta tambah stok. Kita juga sempat ekspor 50.000 lusin kupluk ke Amerika," paparnya.
Meski sempat merasakan angin segar, Eka mengatakan, akhir-akhir ini para perajut dihadapkan dengan harga bahan baku benang acrylic wool yang semakin mahal.
"Ya ini dampak dari demand atau permintaannya fesyen rajut naik juga. Jadi, bahan bakunya pun naik," ungkapnya.
Agar tetap bertahan tanpa menjatuhkan harga produk, Eka mengatakan pentingnya branding dan konten media sosial. Para perajut juga harus rajin mencari tren yang sedang ramai di media sosial.
Namun, Eka mengakui, jika masih terjadi kesenjangan pengetahuan dan keahlian untuk terjun ke dunia digital. Maka dari itu, ia melakukan kerja sama dengan beberapa kampus di Kota Bandung untuk mengajak mahasiswa magang lewat program 'Sekolah Rajut'.
Beberapa kampus yang ia ajak kerja sama antara lain Unpar, Unpad, Unpas, Telkom University, Unibi, Politeknik Ganesha, dan kampus lain yang memiliki fakultas tekstil seperti ITB dan STT Tekstil.
"Anak muda itu keren-keren idenya. Mereka juga melek teknologi, beda lah dengan generasi kami. Saya ingin anak muda senang dan mau bantu kembangkan rajut Binong Jati," katanya.
"Saya kerja sama dengan kampus-kampus untuk belajar bareng digital marketing. Mereka bikin konten dan brandingnya, kita sediakan produknya," imbuh Eka.
Tak hanya dengan akademisi, Eka juga menggait komunitas untuk meluaskan informasi tentang Kampoeng Radjoet di ranah digital. Sebab baginya, kebiasaan masyarakat sekarang sudah bergeser pula ke arah digital. Semua informasi bisa diperoleh dari Google, Instagram, Tiktok, dan Youtube.
Bukan hanya dari strategi marketing yang mengarah ke digitalisasi, Eka berpendapat, produksi pun harus mulai berkembang menggunakan teknologi berbasis computerized. Sampai saat ini, para pengrajut masih menggunakan mesin yang dijalankan secara manual.
"Sehari itu bisa jadi satu lusin kalau pakai mesin manual. Kalau kita pakai computerized bisa tiga kali lipatnya atau lebih. Tapi tentu SDM-nya harus diupgrade juga. Harus tahu cara mengoperasikan mesin komputer ini," tuturnya di sela-sela suara mesin rajut yang terdengar jelas dari ruang produksi.
Eka berharap, dengan terdigitalisasi semua kegiatan produksi di Kampoeng Radjoet kedepannya, bisa semakin meramaikan desa Binong Jati. Sehingga semakin banyak pula orang yang datang berwisata dan membeli produk mereka.
"Kalau rajut terus rame, kampung ini juga akan terus keangkat, yang tadinya UMKM itu usaha kecil menengah, jadi usaha kecil milyaran mudah-mudahan ya," harapnya.
Di sini, semua hasil produk para perajut disentralisasi pada satu toko bernama Galeri Kampoeng Radjoet. Toko ini dikelola oleh Eka dan timnya, beserta beberapa mahasiswa magang. Salah satunya Dani, mahasiswa semester 6 Jurusan Administrasi Bisnis Unpar.
Selama empat bulan mereka akan membantu memasarkan produk-produk Kampoeng Radjoet melalui media sosial dan marketplace.
Dani mengaku, selama sebulan mengoptimasi media sosial, pengikut Instagram Kampoeng Radjoet mengalami kenaikan lebih dari 1.000 orang.
Hal ini juga berdampak pada penjualan mereka di marketplace. Dalam sehari, mereka bahkan bisa menjual 1.000 pakaian per hari dengan kisaran harga Rp40.000-Rp150.000.
"Para reseller juga suka minta tambah stok sampai 2.000-5.000 item per bulan. Kang Eka juga kasih kami target, sebulan 10.000 item terjual. Ya alhamdulillah mendekati target, kita bisa 5.000-7.000 item per bulan," kata Dani.
Setelah hampir dua bulan magang di Kampoeng Radjoet, Dani semakin tertarik membantu para perajut untuk lebih melek teknologi dan mengembangkan Binong Jati menjadi desa wisata.
"Ini sebenarnya sudah jadi desa wisata ya. Tapi, memang kita harus terus ajak masyarakat untuk mau membuka diri dan mengembangkan pemikirannya. Supaya desa ini menjadi desa wisata yang lebih layak," tutur Dani. (k34)