Bisnis.com, PURWAKARTA - Di masa pandemi Covid-19 ini, bertani mungkin bisa menjadi salah satu andalan untuk meningkatkan taraf perekonomian. Namun, bagi sebagian masyarakat masih beranggapan jika bertani tidak cukup menguntungkan.
Namun, pendapat tak berlaku bagi Ananda Dwi Septian, 24, pemuda asal Kampung Ciheulang, Desa Margaluyu, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta.
Justru, menurut remaja yang lebih akrab dipanggil Boti ini, sektor pertanian sangat memiliki prospek yang sangat menjanjikan bila dikelola dengan baik. Hal itu, telah dibuktikannya ketimbang menjadi buruh atau pekerja di pabrik.
"Lima tahun lalu, saya pernah bekerja di pabrik sebelum fokus berkebun. Saat itu, penghasilan saya di bawah 4 juta. Memang, saya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga tapi belum bisa untuk menabung," ujar Boti, Jumat (7/1/2022).
Saat bekerja di pabrik, dirinya merasa pekerjaannya itu tidak bisa membuatnya berkembang. Pemuda berbadan gempal itu pun akhirnya mengundurkan diri setelah bekerja selama sekitar satu setengah tahun lamanya.
Setelah berhenti jadi buruh pabrik, impiannya ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya justru berbeda. Ia justru tidak kunjung bekerja selama dua tahun setelah itu.
Saat itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ia terpaksa membuka usaha isi ulang pulsa seluler. Kemudian, ia pun mulai terdorong untuk bertani setelah bergaul dengan Himpunan Pemuda Tani Purwakarta (Hidata).
Beruntung, dirinya memiliki tabungan dari hasil usahanya menjual pulsa sekitar Rp 3,5 juta. Uang tersebut, dia gunakan sebagai modal bertani.
Langkah dia menjadi petani yang dimulai sejak tiga tahun itu pun, tidak semulus yang dibayangkan. Boti mengaku, awalnya tidak direstui orang tuanya yang bukan berasal dari keluarga petani.
Mereka menganggap penghasilan petani relatif rendah. Namun, dirinya tetap nekad dan memanfaatkan lahan seluas 5.000 meter persegi milik orang tuanya untuk dijadikan ladang penghasilan barunya.
"Dulu tidak direstui. Sekarang, justru keluarga saya yang lain jadi ikut bertani seperti saya bahkan mereka belajar dari saya," katanya merasa bangga.
Boti memilih bertani berbagai jenis sayuran seperti mentimun, cabai hingga kacang panjang. Hasil produksinya sudah bisa masuk ke pasar-pasar modern di dalam dan luar daerahnya. Sisanya, dibeli oleh tengkulak.
"Produk saya belum bisa masuk standar ke super market. Soalnya baru kelas B, yang diterima kelas A," tambah dia.
Dia menjelaskan, dalam jangka waktu tiga tahun terakhir dirinya bisa menghasilkan keuntungan minimal Rp 7 juta per bulan dari hasil bertaninya. Artinya, penghasilan ini lebih besar dari bekerja di pabrik.
Dalam hal ini, dia berharap, langkahnya ini bisa turut memotivasi para pemuda lain untuk bertani sepertinya. Dengan banyaknya petani, Boti tidak merasa tersaingi. Namun, justru semakin memajukan sektor pertanian dan menggerakkan perekonomian daerah.
"Alhamdulillah, sekarang saya sudah memiliki puluhan anggota. Tak hanya pemuda berusia 30 tahun ke bawah tapi banyak juga petani orang tua yang mau gabung," pungkasnya. (K60)