Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus Sengketa Tanah Objek Wisata Sari Ater Semakin Rumit

Kasus gugatan ahli waris tanah yang dipakai objek wisata Sari Ater, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, terus bergulir.
Ilustrasi - Sidang di pengadilan negeri./Istimewa
Ilustrasi - Sidang di pengadilan negeri./Istimewa

Bisnis.com, SUBANG - Kasus gugatan ahli waris tanah yang dipakai objek wisata Sari Ater, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, terus bergulir. Dalam persidangan pekan ini, agendanya menghadirkan pembuktian saksi dari pihak penggugat.

Dede Sunarya, kuasa hukum pihak tergugat dalam hal ini Pemkab Subang, mengatakan, pihaknya tetap mengacu pada dokumen-dokumen otentik. Bahwa Pemkab Subang memiliki dan menguasai tanah tersebut berdasarkan SK Gubernur tahun 56 Nomor 117 tentang Penetapan Air Panas di Ciater, Subang yang pada saat itu berstatus tanah negara.

"Pada dokumen tersebut jelas terbukti bahwa air panas yang berlokasi di Kecamatan Ciater itu merupakan tanah negara, dan kewenangan pengelolaannya adalah Pemkab Subang," ujarnya, saat dikonfirmasi berbagai media, Kamis (18/2/2021).

Menurut Dede berdasarkan SK Gubernur tersebut kemudian Pemkab Subang mengajukan permohonan dan juga sertifikat. Atas pemohonan itu lahirlah sertifikat No 1 per tanggal 30 Juni 1986.

Ia mengatakan, SK tersebut merinci tanah tersebut luasnya mencapai 10.720 meter. Kemudian terbit juga sertifikat hak pakai Nomor 2 pertanggal 30 Juni 1986, dari BPN Subang dengan luas 54.760 meter.

Kemudian, tanah ini diubah menjadi hak pengelolaan dengan terbitnya sertifikat No 1 pada tanggal 28 Januari 2018 dengan luas yang sama. Selanjutnya, tanah tersebut kemudian dicatat dalam dokumen kartu invertarisasi barang di bidang Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Subang.

"Sehingga objek-objek tersebut termasuk dalam aset milik pemerintah daerah," ujarnya.

Mengenai status pihak tergugat dalam hal ini PT Sari Ater, Dede mengatakan, sejak 1987 bidang tanah tersebut diswakelolakan. Maksudnya, di kerjasamakan dengan sistem kontrak dan berbagi keuntungan dengan PT Sari Ater sampai sekarang.

Menurut Dede, jika dilihat dari argumentasi penggugat yang mengacu pada objek pengelolaan pada sertifikat nomor 1 yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut sejak 1937 hingga 1939, maka penggugat keliru.

Pasalnya, pada tahun tersebut penggugat tidak pernah menguasai bidang tanah yang disengketakan itu. Sedangkan, yang dijadikan argumentasi penggugat bahwa ia memiliki bukti dari kantor pajak Purwakarta, itu diragukan keasliannya oleh pihak tergugat.

Penggugat juga mengklaim riwayat tanah yang sekarang jadi objek wisata Sari Ater sejak diriwayatkan oleh kantor BPN Subang per tanggal 28 Agustus 1984, itu milik dia. Namun bukti kepemilikan dia tidak tercatat di BPN Subang.

"Hal itu, sudah dengan tegas dan terang-terangan disangkal oleh kuasa hukum BPN Subang pada saat sidang. Apalagi, surat tanah tersebut tidak tercatat, karena yang dijadikan bukti oleh penggugat merupakan fotocopy dan bukan bukti kuat (sertifikat)," jelasnya.

Sementara itu, kuasa hukum ahli waris (pemggugat) Abshar, mengatakan, sidang acara pembuktian saksi telah dilakukan. Pihaknya telah mengantongi banyak bukti., Dari beberapa saksi yang ada, pihaknya menghadirkan saksi ahli.

"Kami juga sudah memaparkan dalam persidangan tersebut telah menjelaskan di hadapan Majelis Hakim mengenai fakta dilapangan," ujarnya.

Abshar menyebutkan, pada 1987 kepemilikan tanah tercatat milik Raden Somadiwinata. Sesuai dengan surat ketetapan pembangunan daerah, pajak bumi dan bangunannya tidak masuk dalam bukti kepemilikan Pemkab Subang.

Ia kemudian menjelaskan, pada 2000 juga sempat bertemu dengan ahli waris untuk membayar PBB pada 2001 hingga 2003. Kemudian pada 2015 terdapat ahli waris yang meminta surat keterangan tanah ke pemerintah desa, dan sesuai dengan persil di blok 13 itu tetap termasuk dalam hak Raden Somadiwinata.

"Saksi yang dihadirkan, yakni petugas yang menjabat sebagai penagih pajak di Kecamatan Jalancagak ia menagih pajak ke desa-desa sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Ciater," ujarnya.

Saksi lain yang menguatkan tuntutan tersebut, bernama Amud yang merupakan cucu dari seorang penggarap lahan tersebut. Dia menggarap lahan milik Raden Somadiwinata Soma dari 1966 hingga 1969. Bahkan, ia menjelaskan batas-batas tanah tersebut.

Kuasa hukum penggugat juga menegaskan, SK Gubernur tahun 56 Nomor 117 tentang adendum lahan tersebut harus dibatalkan. Karena saksi yang dihadirkan oleh pihak penggugat sendiri dari mantan pejabat, pihak Pemkab juga telah mengakui dalam bukti tertulis. (K60)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Asep Mulyana
Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper