Bisnis.com, BANDUNG - Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dikeluarkan salah satu kementerian serta menjadi acuan kebijakan pembangunan saat ini harus diubah.
Dengan dalih kesehatan, RPJMN tersebut dianggap memusuhi dan akan mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi. Salah satu turunan dari RPJMN adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/02/ 2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai pada 2021.
IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
"Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional. karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan kemudian juga mengancam eksistensi pabrikan rokok menengah dan kecil, juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok yang ada di sektor itu. Termasuk produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau," jelas anggota DPR, Lulu Nur Hamidah, dalam pernyataan tertulis kepada Bisnis, Kamis (23/7/2020).
Lulu menjelaskan, masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan juga polusi dari berbagai pabrik, serta faktor-faktor lainnya.
"Kenapa industri-industri lainnya seperti industri plastik misalnya tanggung jawabnya sangat rendah untuk urusan menjaga lingkungan. Itu yang tidak diurus oleh pemerintah dan mereka itu juga seharusnya dipajaki tinggi. Tetapi ini yang terkait dengan petani (tembakau) yang selalu diobok obok," papar politisi PKB tersebut.
Namun demikian, Lulu mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.
Tolak Simplifikasi Cukai
Pada kesempatan tersebut, anggota DPR RI dari komisi yang membawahi masalah perkebunan Komisi IV, ini secara tegas menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai pada 2021 sesuai PMK No. 77/02/2020.
Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau. Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik sekala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.
"Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil," tegas Lulu.
Berdasarkan hasil analisis pihaknya, kebijakan menerapkan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head.
"Dampak serius lainnya adalah, pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu satunya, tidak akan mampu untuk bertahan," tambahnya.
Lulu menyebutkan, saat ini, ada sekitar 487 pabrikan rokok. 98 persen dari jumlah tersebut merupakan pabrikan menengah kecil. Jika simplifikasi ini diterapkan dia meyakini banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar. Sementara jutaan tenaga kerjanya akan kehilangan mata pencaharian.
Apabila PMK No. 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau akan berkurang hingga 30 persen. Disamping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
Penolakan terhadap rencana penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok juga dikemukakan wakil Ketua Komisi IV DPR Multazam ketika menerima kunjungan Pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang dipimpin ketua APTI Jawa Barat Suryana beberapa hari lalu di DPR RI.