Bisnis.com, BANDUNG – Sneakers merupakan produk yang banyak diproduksi di Kota Bandung. Beberapa merek sneakers asli Kota Bandung diantaranya Saint Barkley. Produk ini memiliki model dan pasar tersendiri sehingga bisa tetap eksis di industri alas kaki ini.
Sneakers tidak hanya digunakan sebagai alas kaki saja, tapi juga sebagai barang koleksi. Karena itu, tak heran jika banyak pencinta sneakers yang mengoleksi alas kaki bermerek lokal hingga internasional.
Produk sneakers dalam negeri tentunya harus bisa bersaing dengan produk sneakers luar negeri, baik dari segi material, model dan harga. Persaingan ini tidak mudah karena masyarakat terlanjur lebih mengenali merek sneakers dari luar negeri.
Vice President Saint Barkley Khrisna Bharata Yudomartono mengatakan, Saint Barkley merupakan produk yang mulai bersaing sejak 6 tahun lalu di industri ini. Bisnis ini dimulai ketika bisnis baju dan celana jeans sedang menjamur di pasaran. Sebagai salah satu bahan sandang, akhirnya, bisnis sepatu ini dipilih untuk dijalankan.
“Dari pertama kali didirikan, kami pelihat sneakers sebagai peluang yang sangat bagus. Karena itu, kami tetap bertahan hingga saat ini,” ujar Khrisna, Senin (8/4/2019).
Pria yang kerap disapa Ozom ini memaparkan, strategi bertahannya adalah fokus untuk terus developing.
“Sepatu bukan hanya tentang model, tapi juga kenyamanan dan teknologi. Kita terus mengembangkan hal tersebut,” katanya.
Selain developing, Saint Barkley terus mempertahankan sepatu yang ‘apa adanya’. Merek ini tidak selalu mengikuti tren di pasaran.
“Model kami tidak terpatok. Seperti contoh, saat itu sedang musim sepatu model petir atau model seperti Vans, kami tidak selalu mengikuti tren itu. Yang pasti, model sepatu kami diterima masyarakat. Buat sepatu yang modelnya aneh atau unik pun tak menjamin laris di pasaran karena tak semua orang mau memakainnya,” ujarnya.
Ozom menjelaskan, trategi tersebut membuat Saint Barkley optimis bersaing dengan produk dari luar negeri. Menurutnya, produk luar negeri tidak menjadi hambatan. Produk-produk tersebut sudah ada sejak lama dan pastinya sudah memiliki pasar tersendiri.
“Hadirnya produk lokal diharapkan bisa mengedukasi masyarakat. Lebih baik menggunakan produk lokal yang orisinal daripada menggunakan produk luar negeri tapi tiruan,” ujar Ozom.
Dari segi nama, Saint Barkley memang seperti nama produk dari luar negeri. Nyatanya, penamaan ini bukan bermaksud untuk kebarat-baratan atau sekedar nama saja.
Ozom mengaku, penggunaan nama tersebut adalah ketidaksengajaan. Saat itu, founder pertama melihat sebuah stiker yang menempel di angkutan kota jurusan Stasiun (ST) Hall. Stiker tersebut berupa kata, yaitu Brekele. Karena itu, nama Saint terinspirasi dari ST dan Barkley terinspirasi dari Brekele.
“Nama yang cukup asing ini membuat orang-orang mengira jika Saint Barkley adalah produk luar negeri. Tapi setelah diberi tahu akhirnya mereka paham. Responsnya pun positif,” ujarnya.
Hingga tahun 2019 ini, Saint Barkley telah meluncurkan 7 model utama. Sedangkan, model lainnya berasal dari permainan warna dan pola. Ketujuh model itu diminati secara berimbang di pasaran.
“Produk kami dibanderol mulai dari harga Rp333.000 hingga Rp520.000. Kami bisa memproduksi 1.000 hingga 3.000 sepatu per bulannya,” katanya.
Pada kegiatan produksinya, lanjut Ozom, Saint Barkley memang belum memiliki pabrik sendiri. Seluruh bahan baku yang utamanya dari bahan kulit hewan dan imitasi ini di suplai langsung, baik dari lokal atau impor ke pabrik tersebut.
“Saint Barkley hanya memiliki 12 tenaga kerja,” ujar Ozom.
Hingga saat ini, Saint Barkley memasarkan produknya secara offline dan online. Meskipun belum memiliki gerai resmi dan besar, pemasaran secara offline dilakukan di kantor Jalan Terusan Jakarta Nomor 47, Bandung. Sedangkan, pemasaran online dilakukan melalui situs resmi, Instagram, Line dan market place.